Kamis, 29 Maret 2012

TOMCAT, SAHABAT DI DESA MUSUH DI KOTA...


Seminggu belakangan ini, Indonesia geger karena ada ‘sosok’ baru yang mendadak terkenal melalui layar Televisi. Terkenal bukan karena sosoknya yang menarik, bakatnya yang unik atau gayanya yang nyentrik tetapi, terkenal karena banyak orang jadi korban dari racunnya yang melukai kulit. Ya! Tomcat! Serangga inilah yang tak pernah absen diberitakan dan dibicarakan orang-orang seminggu belakangan.
Di beberapa kota, puluhan orang telah menjadi korban racun Tomcat, sehingga menyebabkan luka di daerah kulit, hal inilah yang menyebabkan tomcat menjadi serangga paling ditakuti dan diburu untuk dibasmi. Padahal di desa serangga jenis ini sering ditemui di sekitar hutan, sawah atau kebun.
Hewan yang memiliki nama latin Paederus riparius ini merupakan sejenis kumbang yang memiliki ukuran relatif kecil sekitar 1 cm, dan biasanya habitatnya di daerah lembab di sawah-sawah dan pada umumnya akan mengikuti cahaya lampu. Nama Tomcat sendiri berasal dari nama sejenis pestisida, sedangkan di daerah-daerah tomcat ini sering disebut semut kanai atau semut kayap.
Pada dasarnya serangga genus Paederus ini tidak menyerang manusia, serangga jenis ini menyerang hanya untuk mempertahankan diri dari sesuatu yang mereka anggap pengganggu atau predatornya, sehingga banyak manusia yang diserang bukan tujuan awal hewan ini tetapi, dikarenakan aktivitas manusia yang dianggap mengganggu sehingga mereka menyerang manusia. Toksin paederin pada tomcat inilah yang jika terkena kulit manusia dapat membuat kulit melepuh, merah, bengkak dan mengeluarkan cairan. Racun serangga ini konsentrasinya 12 kali lebih banyak dari racun kobra namun tak mematikan.
Ada beberapa tips yang dapat kita lakukan untuk menghadapi kumbang kecil ini :
1.      Ketika melihat hewan kecil ini kita tak usah panik, cukup diamkan hingga hewan tersebut pergi dengan sendirinya. Aktivitas berlebihan akan membuat serangga ini terganggu dan menyerang manusia.
2.     Jangan memencet serangga ini karena lendirnya adalah racun
3.     Jangan sampai terkena racun yang berasal dari perutnya, jika terkena lendirnya jangan digosok dengan tangan tetapi cucilah dengan sabun dan aliri dengan air.
4.     Cara pencegahan melakukan penyemprotan insektisida dan hindari kontak langsung dengan serangga ini
5.     Bila kulit terkena racun biasanya diolesi salep seperti Hydrocortisone/betametasone.
6.     Bersihkan tanaman yang menjulur karena itu adalah habitat tomcat.
7.     Tutup jendela dan pintu saat menjelang malam hari karena tomcat menyukai cahaya lampu.
Dengan mengikuti tips diatas, kita tak perlu takut bahkan hingga membunuh serangga ini. Penanganan Tomcat tak harus selalu dibasmi dengan pestisida atau insektisida tetapi cukup mengenal cara menghindari dan menangani serangga ini dengan baik. Tetapi, ketika populasinya sudah tak terkontrol lagi, maka penyemprotan dapat dilakukan agar keseimbangan ekosistem terjaga.
Di desa sendiri, kumbang Paederus ini merupakan sahabat para petani karena berfungsi mengusir dan memakan jenis kutu dan hewan kepik hama padi, seperti hama wereng yang menjadi musuh utama petani. Jika serangga ini terdapat di daerah pesawahan, akan berdampak pada produksi padi yang melimpah karena hama padi seperti wereng telah dimangsa kumbang ini. Sehingga para petani menolak keras ketika serangga kecil ini akan dibasmi dengan insektisida.
Salah satu penyebab maraknya kumbang Rove ini di daerah perkotaan adalah karena hilangnya habitat asal hewan ini yaitu daerah pesawahan yang dialihfungsikan menjadi perumahan. Sehingga penyebab maraknya wabah serangga ini adalah aktivitas manusia yang mengganggu habitat kumbang kecil ini.
Jadi, manusia sendirilah yang menentukan apakah Tomcat si kumbang kecil ini, menjadi sahabat yang menguntungkan atau musuh yang mengerikan bagi lingkungan kita! Apabila keseimbangan ekosistem terganggu bukan hanya Tomcat tetapi hewan lainpun dapat merugikan manusia contohnya wabah ulat bulu yang menyerang pada tahun 2011 lalu. Maka, hendaklah kita menjadi manusia yang peduli lingkungan bukan manusia yang merusak lingkungan. Ketika manusia bersahabat dengan lingkungan, lingkungan akan menjadi sahabat terbaik bagi manusia... (Ina Noviana -MK kelas 7 Al Afgani )

Plezier Braga


Hari Kamis tidak seperti biasanya kami belajar di sekolah. Pagi itu sekitar pukul 08.00, kami guru-guru dan semua siswa SMP Hikmah Teladan sudah meninggalkan sekolah menuju jalan Braga. Berjalan-jalan menyusuri bangunan bersejarah disana ditemani akang dan teteh dari komunitas Aleut yang dengan penuh semangat memberikan penjelasan mengenai semua tempat yang kami kunjungi. 


Salah satu cerita menarik tentang Patok "0" Kilometer yang ditancapkan dengan tongkat Jendral H.W Daendels di salah satu tepi Jalan Raya Possambil berkata " Zorg dat als ik terug kom hier een stad in gebouwen" . Sejak saat itu titik "0" kmmenjadi simbol titik awal pembangunan Bandung setelah dipindahkan dari Dayeuhkolot.






Jumat, 09 Maret 2012

Ashabul Yamin

Buku "Ashabul Yamin" merupakan salah satu upaya untuk mendukung program pembiasaan siswa SMP Hikmah Teladan. Mudah-mudahan dapat memotivasi dan membangun aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi siswa. Jika pembiasaan mulia dilakukan setiap hari secara terus menerus, kelak akan menjadi karakter dan akhlaq mulia yang tertanam kuat dalam jiwa anak-anak kita serta menjadi benteng keimanan dalam mengarungi kehidupan di masa yang akan datang.

Dengan buku ini para siswa belajar untuk jujur terhadap dirinya sendiri dan mencoba untuk mengevaluasi apa yang telah mereka lakukan, apakah sama atau lebih baik dari hari sebelumnya. Manfaat lainnya adalah meningkatkan kemampuan membaca dan mengambil intisari (note taker) dari apa yang dibaca maupun yang didengar dari pembicaraan seseorang.

Program pembiasaan ini tentunya akan berhasil jika terdapat komunikasi dan kerjasama yang baik diantara siswa, guru dan dukungan sepenuhnya dari orangtua siswa untuk bersama-sama memantau dan menguatkan pembiasaan putera-puterinya di rumah.

Semoga kita semua diberikan kekuatan agar senantiasa istiqomah pada jalan kebenaran
Aamiin Yaa Robbal 'Alamin.


Kepala Sekolah 
SMP Hikmah Teladan


Zainal Arifin 


Kamis, 08 Maret 2012

Berikan Kami Kail

Sudah lama aku tak tersenyum
Antrian BLT menyulut luka
Kenapa tak kau berikan kami kail
Agar kami bisa menangkap ikan setiap hari
Sudah surutkah semua kolam di negeri ini
Tak ada tempatkah bagi kami untuk memancing
Sehingga kau berikan ikan impor pada kami

Tak sampai sebulan
Ikan darimu sudah habis kami makan
Kini kami tak tahu harus berbuat apa
Sudah terlalu lama kau beri
Hingga kami tak bisa cari sendiri

Sampaikan pada pemimpinmu
Berikan kami kail
Agar kami jelajahi negeri
Berikan kami kail
Agar tangan kami diatas
Berikan kami kail
Agar kami punya harga diri
Berikan kami kail
Agar kami bangun dari mimpi
Berikan kami kail
Agar kami menjadi manusia kreatif
lagadar, 8 maret 2012 
Zainal Arifin

Rabu, 07 Maret 2012

Selamat atas prestasi yang telah diraih

Alhamdulillah pada tanggal 4 Maret 2012, ananda Sebening Nurani meraih "Juara I Story Telling" dan ananda Fauzan Hanif "Juara III Be Number One" antar SMP se-Bandung Raya yang dilaksanakan oleh Panitia Musabaqah Kreatifitas Anak Muslim SIT Daarul Fikri Kab. Bandung Barat.

Senin, 05 Maret 2012

INTERROGATIVE WORDS

Jumat, 02 Maret 2012

The Dream


Kamis, 01 Maret 2012

Dua Ribu Rupiah

Sendiri berdiri di sebuah halte. Uang di saku celanaku tinggal dua ribu rupiah. Pulsa telepon genggam ku pun tak mencukupi untuk mengirim barang satu sms pun. Ah, perut keroncongan dan terik siang ini benar-benar membakar kulit. Aku ingin pulang. Tapi tak lagi cukup uang ini untuk mengongkosiku. Aku memutuskan untuk berjalan sedikit.
Kususuri trotoar jalanan ini tanpa sahabat-sahabat terbaikku. Mereka sudah ngacir duluan. Annisa dijemput Ayahnya. Raihana sudah dua hari ini sakit. Aghnia, Raisha, dan Melati sudah naik angkot duluan. Aku kira uangku masih ada di kotak pensilku. Setelah kucari, ternyata ... di tempat itu pun aku tak menemukannya. Dengan langkah gontai, kutiti trotoar ini selangkah demi selangkah.

“Aku harus bisa sampai ke jalan Kenanga!”, tekadku. “Dari situ baru aku bisa naik angkot yang menuju arah rumahku dengan sisa ongkosku”, tekadku lagi.
Garangnya sang mentari tak kuhiraukan lagi. Aku ingin cepat sampai di rumah. Terbayang masakan Ibuku yang selalu mengundang lidahku untuk menari. Selain itu, terbayang pula es buah telur puyuh racikannya yang asam manis menyegarkan. “Hmmm ... segaaarrrr”. Tak terasa air liurku menetes di ujung lidahku.
“Ups! Untung nggak ada yang lihat”. Aku tersenyum geli mengingat kejadian barusan.


Sambil terus berjalan, kuperhatikan satu per satu pemandangan yang nampak di depan mataku. Hilir mudik pejalan kaki, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, lalu lalang kendaraan tak membuat langkahku surut untuk menghentikan perjalananku di siang bolong ini.Sinar mentari tetap belum bersahabat. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di jalan yang kumaksud.

Tiba-tiba ... DUAARR!! Terdengar dentuman keras. Deg! Jantungku terasa hampir copot. Kuarahkan pandanganku pada suara tadi. Jantungku berdegup lebih kencang.
"Suara apa itu? Bomkah? Teroriskah? Teroris siapa lagi yang telah memporak-porandakan negeriku ini?", dugaanku. Kulihat orang-orang berlarian menuju arah dentuman itu. Mereka langsung mengerumuni sumber dentuman itu. Aku pun bergegas mengikuti mereka.
Ternyata, telah terjadi tabrakan antara dua pengendara motor. Entah bagaimana kejadian itu pada mulanya. Semua terjadi begitu cepat. Orang-orang terlihat panik.
"Cepat hubungi rumah sakit terdekat! Minta dikirim Ambulan! Korban dua-duanya parah!", teriak seseorang memerintah entah pada siapa.
"Minggir-minggir! Jangan terlalu dekat dengan korban. Nanti Evakuasi korban susah!", bentak seseorang.
"Bagaimana mulanya ini? Siapa yang menabrak duluan? Kedua motor satu arah atau berlawanan?". Pertanyaan itu terus bertubi-tubi diajukan tanpa ada yang menjawab.
"Oh ... ternyata, kedua motor itu awalnya saling menghindari seorang anak kecil yang berlari menyeberang jalan", jelas seseorang.
"Kemana anak itu?", orang-orang saling berpandangan mencari anak tersebut.
"Terluka parah tidak?", tanya beberapa orang lagi.
Tetapi setelah dicari, anak kecil itu tidak ada. Korban hanyalah kedua pengendara motor itu. "Hmmm ... aneh", lanjut orang-orang itu lagi.
"Mungkin anak itu langsung berlari entah kemana. Takut kali", timpal yang lain.

Aku berusaha menyeruak pada kerumunan orang-orang. Aku ingin melihat dari dekat korban tabrakan itu.
"Ih ngeri!  Innalillaahi", tak terasa mulutku mengucap. Dua-duanya terluka parah.  Darah seperti tak berhenti keluar dari kedua kepala orang itu.
Beberapa orang berusaha memberikan pertolongan pertama sebelum ambulan datang. Untung saja, rumah sakit tidak terlalu jauh dari tempat kejadian. Ambulan yang diminta pun segera datang. Petugas dengan cepat membawa kedua korban itu.

"Ya Allah, mudah-mudahan kedua korban itu diberikan kesembuhan. Amiin", batinku prihatin.
Kerumunan pun bubar. Aku bergegas kembali melanjutkan perjalananku. Peristiwa tersebut terus menggelayuti diriku. Aku teringat Bapakku. Hal buruk terlintas di kepalaku. "Astaghfirullah. Ya Allah, jauhkanlah Bapakku dari hal yang paling buruk. Lindungilah dia, selamatkanlah dia. Amiin", bisikku dalam hati.

Kembali aku lanjutkan perjalananku. Sepanjang sisa perjalananku, batinku terus berdzikir mengucap nama-Nya. Peristiwa yang baru saja kulalui memberikan pelajaran yang sangat berarti bagiku.
"Terima kasih ya Allah, kalau saja uangku lebih dari dua ribu, aku tidak akan melalui jalanan ini tanpa makna yang berarti", bisikku lagi.

Tak terasa jalan Kenanga sudah di depan mata. Aku berteduh di depan mini market sambil menunggu angkot  yang akan membawaku tiba di rumah yang damai.
"Bu, doakan agar aku selalu selamat sampai di rumah". Amiin.

(by Rizka Rahmania Yusuf  Kleas 8 / 2011-2012)

Misteri Rumah Nenek Dina

Seperti biasa, Raza, Debi dan Lili bermain ke lapangan dekat rumah mereka. Biasanya mereka bermain petak umpet, boy-boyan, dan lainnya. Tapi kali ini lain, mereka dan teman-temannya akan mengobrol sesuatu, tapi saat teman-temannya ditanya oleh Raza, mereka malah bilang,
            “ Nanti aja ya, biar kejutan” kata Kaka, salah satu teman mereka.
            Sesampainya di lapangan, Raza, Debi dan Lili langsung bergabung dengan yang lainnya.
            “ Ada apa sih? Bikin penasaran aja” kata Lili.
            “ Gini nih, kalian semua tahu kan, rumah nenek Dina yang serem itu?” tanya Ahmad.
            “ Tahu dong, kan semua orang lagi pada ngomongin” jawab Debi.
            “ Tahu nggak, katanya, disana tuh selalu ada yang aneh-aneh! Contohnya, pas malem, suka ada suara orang lagi nangis, tertawa, marah, ada juga suara orang kayak lagi disiksa!” kata Nena.
            “ Itu kan masih pake ‘ katanya’, jadi belum tentu bener!” kata Raza.
            “ Kalau nggak percaya, buktiin aja sendiri!” jawab Nena.
            “ Oke, aku bakal buktiin, bener nggak yang kalian omongin itu!” kata Raza,
            “ Raza! Kamu udah gila apa, udah tahu rumahnya nenek Dina serem begitu! Malah mau masuk!” kata Vaza yang dari tadi diam saja.
            “ Iya Raza, kamu ini bagaimana sih, mau ke rumah nenek Dina nggak ngajak-ngajak!” celetuk Lili, “ Aku juga mau ikut, tahu!”
            “ Dasar orang aneh! Yang lain pada nggak mau, ini malah mau!” kata Wiwid. Lili nyengir.
            “ Oke, selain Lili, siapa lagi yang mau? Acungkan tangan!” tanya Raza. Lalu ada yang mengacungkan tangan, semuanya menoleh, ternyata...
            “ Hah? Nggak salah nih? Si penakut mau ikut?” ejek Kaka pada Debi. Debi memang dikenal paling penakut diantara teman-temannya.
            “ Aku nggak penakut! Kalau aku penakut aku nggak bakalan ikut!” seru Debi.
            “ Oke, bagi yang mau ikut, kita kumpul di depan rumah nenek Dina pukul 21.00 tepat! Tidak boleh ada yang terlambat!” kata Raza. Debi dan Lili mengangguk. Lalu semuanya pun bubar.
            Malam harinya, pukul 21.00...
            “ Debi, kamu udah bawa peralatan apa aja?” tanya Raza.
            “ Senter dan jaket” jawab Debi singkat.
            “ Hanya itu?”
            “ Ya. Ngapain bawa banyak-banyak, kan nggak menginap”
            “ Oke. Lili, kamu bawa peralatan apa saja?”
            “ Hmm... senter, jaket, dan permen”
            “ Untuk apa bawa permen?” tanya Debi.
            “ Kalau aku lapar, dan tidak ada makanan, aku makan permen aja” jawab Lili.
            “ Tunggu, dari tadi kamu nanya kita bawa apa, kamu sendiri bawa apa?” tanya Debi pada Raza.
            “ Oh, aku bawa senter, jaket, dan coklat” jawab Raza.
            “ Yah, cuma aku yang nggak bawa makanan” kata Debi.
            “ Tenang aku bawa permennya 2 bungkus, mau satu?” tawar Lili. Debi mengangguk.
            “ Oke, kita mulai misinya. Kita memanjat pagar dulu, lalu masuk ke rumah nenek Dina pelan-pelan, kita cari sumber suara yang kata Nena tadi sore, setelah itu pulang” jelas Raza.
            “ Cuma itu? Nggak berpetualang dulu? Misalnya ke ruang rahasia nenek Dina?” tanya Lili.
            “ Yeee... kita mana tahu ruangan rahasianya nenek Dina! Ya udah, yuk mulai misinya!” kata Raza. Raza dan Lili mulai memanjat pagar. Sementara Debi diam saja sambil memencet-mencet tombol untuk menyalakan senter.
            “ Hei, kenapa kamu diam saja? Ayo, mulai manjat pagar!” kata Lili.
            “ Nanti deh, aku nyusul, senterku nggak mau nyala, kalian duluan aja sana” kata Debi sambil mencoba menyalakan senternya. Sementara Raza dan Lili sudah ada di halaman rumah nenek Dina. Tapi ditunggu-tunggu, Debi tidak datang juga. Mereka pun mulai kesal.


            “ Katanya Debi mau nyusul, tapi kok nggak datang-datang?” kata Lili.
            “ Mungkin... dia kabur!” tebak Raza. Mereka langsung memanjat pagar lagi untuk melihat keluar halaman rumah nenek Dina. Ternyata Debi masih mencoba menyalakan senternya.
            “ Aduuuh...! Dari tadi masih nyoba nyalain senter! Nggak usah dinyalain, senternya bareng aja! Ayo cepet manjat!” kata Lili. Debi pun menyimpan senternya, lalu mulai memanjat. Tetapi, belum Debi masuk ke halaman rumah nenek Dina, ia mendengar suara orang menjerit, dan ia sangal mengenal suara tersebut. Ia terus memanjat pagar rumah nenek Dina yang tinggi, lalu melihat ke halaman, ternyata... Raza dan Lili diculik oleh 2 pria!
            “ Hah! Raza dan Lili diculik! Aduh, aku harus berbuat apa? Ah, aku lapor ke pak RT aja!”. Debi langsung turun pagar dan berlari ke rumah pak RT.
            Sesampainya di rumah pak RT...
            “ Assalamualaikum! Pak RT! Pak RT!” seru Debi sambil menetuk pintu rumah pak RT. Pintu pun dibuka.
            “ Waalaikumusalam, ada apa Debi, kok panik gitu?” tanya pak RT ramah.
            “ Itu... i...itu... Raza sama Lili di culik!” jawab Debi.
            “ Apa! Diculik dimana?” tanya pak RT.
            “ Di... di rumah... nenek Dina!”. Pak RT langsung menelepon polisi.
            Sementara itu, di rumah nenek Dina...
            “ Eh, enaknya kita apain nih anak?” kata Jo, yang menculik Raza dan Lili.
            “ Bunuh aje!” jawab Jack, teman Jo.
            “ Jangan, gue kagak mau ditangkep polisi mulu, dah bosen gue! Emang lu kagak bosen, dikejar mulu?” tanya Jo.
            “ Iye juge ye, trus, diapain? Ape dibiarin aje, ntar kelaperan mati sendiri!” usul Jack.
            “ Ide lu bagus juge! Setuju dah! Ntar kite cari telepon ortunye, kite minte tebusan, 3 milyar!”. Mereka pun bermain kartu dan menyalakan kaset yang bersuara orang menangis, tertawa, seperti kata Nena!. Raza pun bangun dari pingsan, dan kaget karena mulutnya dilakban! Raza langsung menyenggol Lili. Lili langsung bangun juga.



            “ Mmmh... mmhmm...?(Raza, kenapa mulut kita dilakban?)” kata Lili.
            “ Mmhm..mm...mmm...!(Aduuuh... lapar! Mana susah ngambil coklatnya!)” kata Raza. Kalau ngomong tapi mulutnya dilakban, pasti nggak bakal nyambung, atuh...
            “ Aha! Aku punya ide! Aku akan cari paku!” pikir Raza. Ia langsung meyapu pandangan, lalu ia menemukan paku yang tertancap ditembok. Raza pun berdiri, Lili mengikuti. Mereka berjalan ke arah paku, tali yang mengikat mereka digesek-gesek pada paku, lalu talinya terputus! Langsung mereka melepas lakban yang menutupi mulut mereka.
            “ Eh Lili, aku tahu mereka siapa, mereka itu yang jadi satpam dikomplek saudaraku tinggal” kata Raza.
            “ Ooo... yang kata kamu satpam Jo sama Jack itu, ternyata mereka jahat, ya”. Baru saja Lili selesai bicara, tiba-tiba ada suara pintu didobrak!
            “ JANGAN BERGERAK! ANDA SUDAH KAMI KEPUNG! ANGKAT TANGAN KALIAN DI ATAS KEPALA!” seru polisi dengan megaphone. Penculik-penculik itu langsung mengangkat tangan di atas kepala. Pak RT, Debi, orangtua Raza dan Lili, dan teman-teman langsung masuk dan membawa Raza dan Lili keluar.
            “ Terima kasih, pak RT, udah manggil polisi” ucap Raza.
            “ Jangan terima kasih ke bapak, terima kasih ke Debi, dia yang ngelaporin” jawab pak RT.
            “ Makasih ya Deb, kamu pemberani banget!” puji Lili.
            “ Iya, makasih banget ya, kalau nggak ada kamu kita bakalan mati, makasih ya!” kata Raza.
            “ Iya, sama-sama, aku juga makasih sama kalian, udah buat aku jadi pemberani” kata Debi.
            “ Kamu berani bukan karena kita, melainkan dari diri kamu sendiri, kamu benar-benar pemberani!” kata Raza.
            “ Waaah... si penakut sekarang jadi si pemberani! Debi jadi pahlawan, Debi is  superhero!” seru Kaka. Mulai sekarang, tidak ada lagi yang takut lewat rumah nenek Dina, karena misteri rumah nenek Dina sudah terkuak.

Cimahi, 23 Agustus 2009
( Rizka Rahmania Yusuf  Kelas 8 / 2011-2012)

Cerita tentang 'Aku'

Ini cerita tentang aku. Aku seorang --- tidak, sepertinya kata ‘seorang’ tidak tepat --- aku sebuah benda yang disukai banyak orang, namun juga dibenci orang. Orang-orang yang menyukaiku berkata aku enak, dan tidak mengganggu. Sementara orang-orang yang membenciku, berkata aku sangat mengganggu.

Kau pasti tahu siapa aku. Aku adalah sebuah benda yang biasa kalian jumpai. Kau bisa menemukanku di jalan, saat perjalanan pulang, bahkan mungkin, ada anggota keluargamu pun menggunakan aku. Sepertinya, aku benda yang tak asing bagi kalian. Menurutmu, aku benda yang mengganggu? Pasti sebagian besar mengatakan itu, aku yakin.

Orang-orang bisa menikmatiku setiap saat. Pagi, siang, malam. saat minum kopi, bersantai, nongkrong, pokoknya kapan saja mereka bisa. Bahkan, mereka bisa menghabiskan berbungkus-bungkus untuk menikmatiku. Padahal, hargaku termasuk mahal. Bayangkan, bila kau membeliku seharga Rp.2000,- , kau hanya mendapat 3 buah diriku. Itupun hanya habis beberapa menit. Bila kau membeliku, kau bisa rugi. Tapi anehnya, masih banyak yang menyukaiku.

Sebenarnya, aku kasihan pada orang-orang yang menyukaiku. Tahukah kau, sebenarnya aku perusak organ tubuh manusia? Kalian pasti sudah tahu. Banyak iklan yang menjual diriku, mencantumkan dampak-dampak apa saja apabila kau menggunakan aku. Tapi yang bikin pusing, mereka tetap menjualku.

Sudah banyak alat-alat canggih, yang berguna untuk menggantikanku. Ada yang terbuat dari herbal, bahkan ada yang bisa diisi ulang. Wah, pokoknya canggih sekali. Mereka berfungsi untuk mengurangi kebiasaan orang yang menggunakanku, bahkan menghentikan. Mereka tidak menyebabkan candu. Tapi tetap, orang-orang tidak mau. Mereka sudah kecanduan diriku. Mereka tetap memakaiku.

Kau tahu, bagaimana cara orang untuk menikmatiku? Kau pasti sudah tahu. Aku harus dibakar. Ya, dibakar. Rasanya, uh, sakit sekali. Aku dibakar dari atas, tubuhku makin lama makin pendek karena terbakar, lama kelamaan hangus, lalu aku mati, dibuang, setelah itu diinjak. Uh, mungkin inilah pepatah “ Sudah jatuh, tertimpa tangga”. Kalau untukku, “ Sudah dibakar, diinjak pula”. Mungkin, ini sudah menjadi takdirku. Atau, ini balasan setimpal untukku, karena sudah menyakiti manusia.

“ Hei, aku disuruh membakarmu. Kau tidak apa-apa, kan?” tanya korek api padaku, suatu hari.
“ Tidak apa-apa. Aku sudah siap.”
“ Tapi nanti, kau sakit.”
“ Tidak apa-apa, kok. Sudah tugasku. Ayo cepat, nanti apimu keburu mati. Dan, kau harus dipencet-pencet, berkali-kali lagi, lebih sakit loh.”
“ Ya lebih sakit kamu, lah. Dipencet-pencet, sih, udah biasa. Tapi kamu? Udah dibakar, terus mati, dibuang, diinjek lagi. Kau yakin?”
“ Iya, ayo cepat. Tuh, kan, apimu mati.”

Masih ada yang menyayangiku, selain orang yang menyukaiku. Sahabatku, Korek Api, selalu mengkhawatirkanku. Dia tidak tega untuk menyakitiku. Tapi, itulah tugasnya. Membakarku. Dia selalu menjalani tugasnya, meski harus menyakitiku. Tapi tak apa, aku terima.

Aku ingin jujur pada kalian, tapi kalian jangan bilang siapa-siapa, ya?

Sebenarnya, aku benci pada diriku. Aku telah menyusahkan banyak orang. Banyak orang yang mati, karena aku. Banyak orang yang mengidap penyakit serius, karena aku. Aku sangat, sangat, sangat benci pada diriku. Aku ingin berubah menjadi benda yang lain, yang tidak merugikan banyak orang, tidak membuat orang sekitar tidak nyaman. Kadang aku bingung, apa fungsinya diriku? Aku hanya punya kekurangan, tak ada sama sekali kelebihan.

Aku sudah berkali-kali berdoa pada Tuhan, aku ingin berubah menjadi yang lebih baik. Aku terus berdoa, terus berdoa, hingga aku lelah. Namun, Tuhan berkehendak lain. Tuhan ingin aku menjadi wujud yang sekarang. Ah, sudahlah. Jika Tuhan mengharuskanku menjadi seperti ini, mana mungkin aku bisa mengelak?

Yah, itu sepenggal kisah dari kehidupanku. Eh, dari tadi aku cerita, curhat tentang hidup aku pada kalian, tapi kita belum kenalan, ya?

Baiklah, baik. Akan kuperkenalkan diriku.
Namaku... Rokok.
Namamu, siapa?
(aaahhh... sudah, tak penting. Lewat saja!)
Salam kenal, yah.

Aku sudah merusak paru-paru sebagian manusia, menyebabkan kanker paru-paru, mengubah warna bibir menjadi ungu, padahal, kan, harusnya warna merah muda. Aku juga sudah membuat gigi kuning, sangat kuning.

Banyak anak-anak yang tidak bersalah, menjadi korbanku, karena mereka menghisap asapku yang sangat berbahaya. Aku sudah merusak lingkungan, karena pabrik tempat membuatku sudah membutuhkan lahan yang luas, sehingga harus menebang pohon di hutan. Selain itu, asap yang aku keluarkan makin merusak ozon, yang sebelumnya memang sudah rusak. Huh, banyak ya, dosaku?

Aku mohon, maafkan aku. Aku tidak ingin menjadi begini, setelah tahu apa yang kuperbuat. Maafkan aku... ini bukan keinginanku...

 Bandung, 17 November 2011.
( Rizka Rahmania Yusuf  Kelas 8 / 2011-2012)

Cermin di Lemari

“ Bu, kita jadi pindah rumah, ya?” tanya Bika. Ibu mengangguk.
“ Kapan?” tanya Shafa.
“ Nanti, akhir pekan. Pas kalian libur.”
“ Sekolah kita pindah, nggak?” tanya Bika panik.
“ Nggak, justru rumah barunya deket ke sekolah. Naik sepeda juga bisa.”

“ Shaf, kata kamu, di rumah baru nanti, kita bakal dapet temen?” tanya Bika.
“ Mudah-mudahan. Tapi yang lebih dipengen, rumahnya misterius.”
“ Ya, dan banyak buku!”
“ Setuju!”

Keluarga Shafa dan Bika akan pindah rumah. Tidak, mereka tidak berbeda keluarga. Mereka kakak beradik. Mereka akan pindah ke rumah di daerah perkebunan, yang dijual beserta isi-isinya. Banyak yang bilang, rumah baru mereka misterius, dan itu membuat mereka makin bersemangat.

Saat akhir pekan.
“ Wow! Lihat, Shaf!” seru Bika sambil menunjuk ke satu arah.
“ Wah! Bu, ini bener rumah kita?” tanya Shafa.
Rumah baru mereka, bisa dibilang cukup besar. dengan gaya zaman Victoria, membuat rumah tersebut semakin misterius. Jendelanya besar, dan halamannya luas. Dan, ada lelaki tua melambai ke arah mereka. Lelaki itu tinggi besar, sehingga membuat Bika berpikir sesaat lelaki tua tersebut patung pemilik terdahulu. Lelaki itu mempunyai wajah khas orang Eropa.
“ Ya, Sayangku. Ini rumah kita.” Jawab ibu. Mereka berhenti di depan lelaki tua tersebut. Bapak keluar dan menjabat tangannya. Begitu pula ibu, Shafa dan Bika.
“ Hai anak-anak, salam kenal. Namaku Alexander, panggil saja Lexan, karena orang-orang memanggilku begitu.” Sapa lelaki tua itu.
“ Hai, Pak, Lexan, senang berkenalan dengan Anda.” Shafa menjabat tangan Pak Lexan, Bika mengikuti.
“ Hmm, Pak Lexan, apa kau orang Eropa?” tanya Bika.
“ Ya, nenekku orang Inggris. Rumah ini miliknya. Tapi, sekarang milik kalian. Apa kalian menyukai sesuatu yang misterius?”
“ Ya, tentu saja!”
“ Bagus! Karena rumah ini penuh misteri, kau tahu. Nenekku berkata, rumah ini cocok untuk jiwa penjelajah. Aku sering menjelajahi rumah ini, saat aku seumuran kalian. Banyak sekali misteri, dan itu yang membuat rumah ini mengasyikkan.”
“ Apa ada benda yang benar-benar misteri?”
“ Semua benda disini misteri, sangat misteri. Rumahnya sendiri pun misteri.”
 “ Tapi, tidak ada hantu, kan?” tanya Shafa sambil bergidik.
“ Tidak, tentu saja. Rumah ini hanya misterius. Tidak ada hantu, percaya padaku. Dan --- eh, sudah selesai?” Pak Lexan tiba-tiba bertanya pada bapak yang selesai mengangkut barang, seperti mengalihkan pembicaraan.
“ Ya, rumahnya luas sekali, ya?” ujar bapak.
“ Benar. Tapi jika sudah terbiasa, tidak akan kenapa-kenapa.” Jawab Pak Lexan, “ Baiklah, saya harus pergi. Selamat atas rumah baru kalian. Dan anak-anak, selamat berpetualang. Sampai jumpa.” Pak Lexan pergi dengan mobilnya.
“ Bagaimana tidak misteri, pemiliknya saja misteri.” Ujar Bika.
“ Maksudmu?” tanya Shafa.
“ Saat kau bertanya tentang hantu, di menjawab ‘ tidak ada hantu, percaya padaku’ lalu ‘dan...’ tapi tidak jadi karena bapak datang dan --- sepertinya --- mengalihkan pembicaran ‘ eh, sudah selesai?’. Kau mengerti maksudku?”
Shafa malah memiringkan kepalanya, tanda dia tidak mengerti.
“ Aduh, begini, sepertinya dia ingin memberitahu sesuatu, tapi tidak jadi karena bapak datang. Mungkin dia ingin hanya kita berdua yang tahu.”
“ Ooooh... begiiituuu... eh, bagaimana kalau sekarang kita melihat kamar kita?”

“ Ooooh! Ini kamar kita?” seru Shafa.
“ Victoria banget!” seru Bika tak kalah keras.
Kamar itu termasuk luas, dengan dua kasur di sisi sebelah kanan. Ada jendela yang menghadap kita saat kita masuk, dan di sebelah kanannya ada lemari dengan cermin besar di salah satu pintunya, menghadap ke salah satu kasur. Di tengah ruangan, tergelar karpet.
“ Kamu bawa buku tentang Victoria itu, kan?” selidik Shafa.
“ Bawa, dong.”. Mereka langsung duduk di kasur yang menghadap lemari, dan mulai membuka buku yang mereka bawa.
“ Wah, lihat! Bajunya bagus.” Celetuk Bika.
“ Ah, yang itu biasa aja, yang ini yang bagus.” Jawab Shafa.
“ Bagus yang ini, dong! Aku jadi pengen baju gini, nanti bisa mirip --- loh!” Bika tertegun melihat cermin.
“ Ada apa?” tanya Shafa. Ia melihat ke cermin, dan langsung gemetar. “ Itu, bukan hantu, kan?”
“ Bukan. Itu aku.”
“ Tapi di cermin...”
Di cermin, bukan bayangan Bika yang dipantulkan. Oh, itu memang Bika, tapi pakaiannya berbeda. Bika sekarang memakai kaus, jaket dan celana panjang. Tapi di cermin, Bika memakai baju zaman Victoria yang ia inginkan! Dengan rambut ikal --- padahal, Bika berambut lurus ---, gaun merah dengan rok lebar --- ada bagian putih di dada ---, dan korset berwarna hitam. Bika pura-pura mengangkat rok lebar itu, dan benar-benar terangkat. Di dalamnya, ada beberapa rok dalam berwarna putih, dan sepatu cokelat panjang sampai lutut.
“ Itu baju yang ku inginkan, tapi awalnya bayanganku tidak seperti itu!” kata Bika.
“ Aneh, biar kucoba.” Shafa membayangkan baju yang pernah ia lihat di toko, dan melihat ke cermin. Bayangannya memakai baju yang ia bayangkan.
 “ Wow, itu lemari ajaib.” ucap Bika.
“ Bukan, cerminnya yang ajaib.” koreksi Shafa.
“ Oh iya. Biar kuulang. Wow, itu cermin ajaib.”
“ Ya. Keren. Segala yang kita bayangkan ada.”
Hening.
“ Coba kita bayangkan baju kita semula.” Bayangan di cermin berubah lagi. Mereka terdiam, masih kaget karena cermin itu.
“ Bisa kita coba lagi?” tanya Bika.
“ Lebih baik tidak, Bika. Maaf. Tapi aku takut ada yang memata-matai kita, tahu tentang cermin ini, dan berusaha mencurinya. Bahkan, meneror kita! Sekali lagi maaf, Bika. Tapi aku kakak. Aku harus bertindak tegas, kan?” tegas Shafa.
“ Yah, baiklah.” Bika kecewa.
Sebenarnya, biar kuberi tahu, sudah terlambat Shafa mengatakan itu. Sejak lima tahun yang lalu, memang ada yang menginginkan rumah itu secara paksa. Namanya Livia. Umurnya sekitar 30 tahun, dan dijuluki ‘Pencuri Cantik’ karena ia memang cantik dan harus mendapatkan apapun yang ia inginkan, termasuk rumah ‘Victoria’ milik Shafa dan Bika. Ia akan melakukan apa saja, asalnya keinginannya terpenuhi. Ia menginginkan rumah ‘Victoria’ karena ia tahu tentang benda-benda misteri, termasuk cermin yang baru Shafa dan Bika temukan. Ia berniat menjualnya ke luar negeri, sehingga ia menjadi kaya raya. Tapi untungnya, Pak Lexan mencegahnya.
“ Rumah ini, milik keluarga dengan maksimal 3 orang anak, dan barang yang ada di rumah ini, tidak boleh dijual. Ini pesan, ini amanat!” kata Pak Lexan saat mencegah Livia. Itulah yang membuat Livia geram dan terus berusaha menguasai rumah ‘Victoria’.

Sore harinya.
“ Lusa, ibu sama bapak mau ke rumah lama dulu, ya.” Kata ibu.
“ Mau ngapain?” tanya Bika.
“ Mau ngurus surat pindah, sama mau ambil barang yang belum kebawa. Kalian mau ikut atau tunggu sini aja?”
“ Hmm... bapak sama ibu pergi berapa lama?”
“ Sekitar.. dua hari. Mau ikut atau nunggu disini?”
“ Nunggu aja, deh.”

Dua hari kemudian.
“ Dadah!” seru Shafa dan Bika sambil melambaikan tangan pada ibu dan bapak, lalu masuk kembali.
“ Sekarang, kita jelajahin rumah ini!”. Baru saja selesai berkata begitu, ada yang mengetuk pintu. Shafa langsung membuka pintu. Terlihat seorang wanita yang --- menurut Bika --- mempunyai wajah kriminal.
“ Selamat pagi, adik-adik. Nama saya Livia. Maksud kedatangan saya ingin menanyakan berapa harga rumah adik ini. Saya tertarik dengan rumah adik. Kira-kira, berapa harganya?” tanya Livia.
“ Harga rumah? Maksud Anda apa?” Shafa berbalik tanya.
“ Ya, saya tertarik dengan rumah adik, saya mau membeli rumah adik, berapa harganya?”
“ Enak saja mau beli! Kami baru tinggal di sini, masa sudah dijual lagi? Tidak, tidak bisa!” seru Bika. Brak! Pintu langsung dibanting Bika. Livia hanya bisa menggeram.
“ Awas saja! Berani macam-macam sama Livia, bakal tahu rasa! Kurang ajar!” geram Livia, lalu ia pergi.
“ Menurutku, wanita tadi cantik.” Ujar Shafa.
“ Ya, tapi punya wajah kriminal. Siapa namanya tadi? Mimpia, simvia?”
“ Kue Pia? Atau, bakpia?”
“ Bukan, hmm.. Lumpia kali, ya. Udahlah, ayo jalan-jalan!”. Mereka mulai menjelajahi semua ruangan. Mulai ruang tamu, kamar mereka sendiri, kamar orangtuanya, kamar tamu, kamar mandi, dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang TV, halaman belakang, hingga ruang bawah tanah. Tapi, mereka lebih lama di ruang bawah tanah. Kata mereka, ruang itu penuh misteri.
“ Lama-lama bosen. Kita nonton TV aja, yuk!” ajak Bika.

Sore harinya.
“ Ada yang ngetuk pintu lagi? Siapa sih?” tanya Shafa. Bika menghampiri pintu, tapi tidak membukanya. Ia malah berteriak.
“ Siapa itu?!” seru Bika.
“ Ini saya, yang tadi pagi datang.” Balas Livia.
“ Oh, Mbak Lumpia, ya?”. Livia mendengus.
“ Livia dik, bukan Lumpia.”. Bika membuka pintu. Telihat Livia dan seorang pria besar. Bika terlihat tenang.
“ Dik, saya mau mengadakan penawaran lagi. Saya mau---“
“ Kan udah dibilang, rumah ini nggak dijual!” Bika mau menutup pintu, tapi dicegah Livia.
“ Nanti dulu, dik. Saya mau menawarkan apa saja yang adik inginkan. Sekarang, bilang pada saya, apa yang adik inginkan?”
“ Hmm... Enggak! Aku tahu, pasti ujung-ujungnya ke rumah ini, iya kan?! Enggak, makasih!”. Brak! Bika membanting pintu lagi. Kali ini, Livia sangat marah. Ia berteriak:
“ Berani-beraninya, anak kecil! Sekarang, aku benar-benar marah!”
“ Oh ya? Mana, tunjukkan kalau marah!” teriak Shafa. Ternyata, Livia benar-benar marah. Terdengar gebrakkan di pintu. Bika dan Shafa berpegangan tangan erat. Dan, BRAK! Pintu didobrak oleh lelaki besar itu!
“ Aaaaa!!!” jerit Shafa dan Bika. Mereka langsung berlari. Livia mengejar. Lelaki besar tadi tidak ikut, dia menunggu di luar.
“ Kamu malah nantang! Udah dibilang, dia mukanya kriminal! Eh, bener kriminal! Kamu malah nantang!” seru Bika sambil berlari.
“ Iya, ini salahku!” Shafa mengaku. Mereka berlari ke semua ruangan, hingga akhirnya, mereka berlari ke kamar. Mereka mengunci pintu, dan bersender ke lemari bercermin. Terdengar Livia berusaha masuk ke kamar mereka. Mereka makin ketakutan, sampai mereka bersender ke cermin, dan..
“ Aaa! Shafa! Aku kesedot!” jerit Bika.
“ Bika!” Shafa meraih Bika, dan mereka terhisap ke cermin!
Sesaat, mereka tidak sadar. Sampai suatu cahaya menyilaukan membangunkan mereka.
“ Uh, di mana kita?” tanya Bika. Mereka melihat sekeliling. Hanya hamparan bunga matahari.
“ Apa ada orang?” tanya Shafa.
“ Psst, aku di sini.” Terdengar satu suara.
“ Siapa itu?”
“ Ini aku, Pak Lexan.”
“ Pak Lexan! Kenapa Anda bisa di sini juga?” jerit Bika terdengar bahagia.
“ Ini tempat rahasiaku. Hei, kalian masuk lewat mana?”
“ Apa maksudmu lewat mana? “ tanya Shafa.
“ Oh iya, aku belum cerita. Begini, di rumah ‘Victoria’ kalian, ada beberapa pintu menuju tempat ini.”
“ Apa nama tempat ini?”
“ Belum ada nama, tapi untuk sementara kuberi nama ‘Negeri di dalam Rumah Bergaya Zaman Victoria’.”
“ Uh, panjang sekali.” Celetuk Bika.
“ Makanya, tolong carikan nama, ya. Eh, kalian masuk lewat mana?”
“ Dari cermin di lemari kamar kami.”
“ Oh, Cermin di Lemari. Itu salah satu pintu menuju ke sini.”
“ Pak Lexan sendiri masuk dari mana?”
“ Di rumahku juga ada satu pintu menuju ke sini. Namanya ‘Jendela Cahaya’. Di rumah kalian, ada beberapa pintu di rumah itu, yaitu ‘Cermin di Lemari’, ‘Loker Bawah Tanah’, dan ‘Pintu Pohon Halaman Belakang’. Itu yang membuat Livia ingin menguasai rumah ini.”
“ Kau kenal si Lumpia itu? Wanita muka kriminal?” celetuk Bika lagi.
“ Ya. Dari dulu, dia menginginkan rumah ini, semenjak tahu ada ‘Negeri di dalam Rumah Bergaya Zaman Victoria’ di rumah ini. Dia ingin menguasai negeri ini, rumah ini. Aku takut dia mengacaukan negeri ini.”
“ Ya, Anda memang patut takut rumah ini diambil, mukanya bener-bener kriminal.” Bika berceletuk lagi. Kali ini, Shafa menyenggolnya. “ Jangan main-main. Jaga sikap, dik.” Bisik Shafa.
“ Tapi, cermin itu memantulkan apa saja yang kita inginkan. Kemarin, Bika tidak sengaja mencobanya, dia membayangkan baju zaman Victoria yang menurutnya bagus, dan bayangannya di cermin sedang mengenakan baju tersebut. Aku pun mencoba membayangkan baju yang pernah kulihat di toko, dan di cermin aku memakai baju itu.” Jelas Shafa.
“ Ya, memang benar. Cermin itu ajaib. Tapi, hanya orang yang berniat baik saja yang bisa memakainya. Orang jahat seperti Livia tidak akan mungkin bisa memakainya.”
“ Tapi, bagaimana kita bisa kembali?” tanya Shafa.
“ Lebih baik jangan dulu kembali. Lumpia masih ada di sana, dan aku agak takut pada pria besar tadi.” Kata Bika.
“ Oh, pria besar itu. Namanya Bison.” Jawab Pak Lexan.
“ Bison?”
“ Tidak, itu hanya julukanku padanya. Aku tahu cara menghentikannya. Dulu, Livia menginginkan salah satu benda yang menurutnya ajaib, dan aku rasa dia masih menginginkannya sampai sekarang.”
“ Apa itu?”
“ Cermin di Lemari. Ia paling ingin benda itu, karena menurutnya itu satu-satunya jalan ke negeri ini. Tapi, jika benda itu berada di tangan orang jahat, maka akan berubah fungsi. Dia akan terlempar ke sesuatu yang sangat ia takuti. Oh, kalau tidak salah, dia sangat takut pada hutan. Nah, kemungkinan dia akan terlempar ke sana.”
“ Bagaimana cara dia kembali?”
“ Setelah ia mengalahkan rasa takutnya, dan berjanji merubah sikap.”
“ Pasti akan lama sekali!” seru Bika.
“ Tidak, satu hari di negeri ini atau negeri lain, sama saja melewatkan satu detik di dunia kita.”
“ Tapi kalau bertahun-tahun?”
“ Hanya beberapa menit sampai jam.”
“ Dan satu pertanyaan lagi, bagaimana cara kita kembali?”
“ Lebih baik, jangan dulu. Aku ingin melihat sekitar, siapa tahu ada orang lain.” Celetuk Bika.
“ Tidak, jangan.” Kata Pak Lexan, “ Kalian kesini bertujuan untuk berunding. Jika ada salah satu diantara kalian melupakan tujuan awal kalian, kita akan terjebak di sini selamanya.”
“ Hei, kami tidak bertujuan begitu.” Ujar Shafa.
“ Memang, tapi itu tujuanku. Jika salah satu diantara kita mempunyai satu tujuan, maka semuanya akan bertujuan sama.”
“ Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“ Pegang tanganku erat-erat,” instruksi Pak Lexan, “ lalu lompat. Satu, dua, tiga!”. Saat mendarat, mereka sudah berada di kamar lagi. Livia masih mencoba membuka pintu. Bika langsung membuka pintu. Livia masuk dengan garang.
“ Lexan! Aku masih menagih hutangmu padaku! Mana cermin ajaib itu?” tanya Livia.
“ Lepaskan cermin itu.” Suruh Pak Lexan. Shafa mengernyit.
“ Dilepas? Memangnya bisa? Cermin itu besar!”
“ Iya, lepas. Cepat lepaskan. Bisa, kok.”. Segera Shafa melepaskan cermin itu. Dengan susah payah, ia berhasil. Cermin yang besar, tetapi ringan.
“ Hei, bisa dilepas!” seru Bika. Shafa segera menyerahkan cermin itu kepada Livia.
“ Hah! Apa ini hanya tipuanmu, agar aku cepat keluar dari rumah ini?” selidik Livia.
“ Percaya padaku. Ini bukan tipuan.”. Livia mengambil cermin itu, menatapnya, lalu ia tersentak, karena bayangan dalam cermin itu hutan, yang ia takuti. Lalu, ia merasa terhisap ke cermin itu, dan sekejap menghilang. Bika segera memungut cermin dan menatapnya. Lalu, ada bayangan Livia sedang terjebak di hutan.
“ Kalian gila! Untuk apa kalian menjebakku di sini?” jerit Livia.
“ Untuk memberimu pelajaran. Apa lagi?” jawab Shafa singkat.
“ Keluarkan aku dari sini!”
“ Kalahin dulu rasa takut, terus ubah sikap. Kalau sudah, lompat, selesai. Gampang, kok. Oh iya, selamat bersenang-senang! Awas! Di belakang ada singa! Hahaha!” Bika tertawa.
“ Aaa! Tidak! Tolong!” tak lama, bayangan Livia hilang. Mereka bertiga menuju ruang tengah, tempat si Bison menunggu. Si Bison langsung berdiri.
“ Nih, bos kamu.” Kata Bika sambil menyerahkan cermin. Si Bison hanya mengernyitkan dahi.
“ Bos kamu, ada di dalem cermin. Udah sana! Bawa pulang! Hus, hus!” usir Shafa. Bison hanya menerima cermin, dan pergi.
“ Kita berhasil!”

Keesokkan harinya.
“ Ya ampun, ini pintunya kenapa? Kok, kayak didobrak?” seru ibu saat sampai rumah.
“ Itu bu, kemarin saat anak-anak main ke peternakan, ada sapi yang lepas, ngejar-ngejar mereka. Mereka takut, langsung ke rumah. Eh, sapinya malah ngedobrak pintu. Kalian, sih, pakai baju merah. Untung saya lagi lewat ke sini, terus ada peternak, kami seret sapinya keluar.” Bual Pak Lexan. Ibu hanya mengangguk-angguk. Pak Lexan mengedipkan mata ke Shafa dan Bika. Mereka hanya senyum-senyum. Sebab, hanya mereka yang tahu kejadiannya.


Alhamdulillah... ( Rizka Rahmania Yusuf  Kelas 8 / 2011-2012)

Bandung, 15 Desember 2011
Pukul 23.03 WIB