Sendiri berdiri di
sebuah halte. Uang di saku celanaku tinggal dua ribu rupiah. Pulsa
telepon genggam ku pun tak mencukupi untuk mengirim barang satu sms pun.
Ah, perut keroncongan dan terik siang ini benar-benar membakar kulit.
Aku ingin pulang. Tapi tak lagi cukup uang ini untuk mengongkosiku. Aku
memutuskan untuk berjalan sedikit.
Kususuri trotoar jalanan ini tanpa sahabat-sahabat terbaikku. Mereka sudah ngacir duluan. Annisa dijemput Ayahnya. Raihana sudah dua hari ini sakit. Aghnia, Raisha, dan Melati sudah naik angkot duluan. Aku kira uangku masih ada di kotak pensilku. Setelah kucari, ternyata ... di tempat itu pun aku tak menemukannya. Dengan langkah gontai, kutiti trotoar ini selangkah demi selangkah.
“Aku harus bisa sampai ke jalan Kenanga!”, tekadku. “Dari situ baru aku bisa naik angkot yang menuju arah rumahku dengan sisa ongkosku”, tekadku lagi.
Garangnya sang mentari tak kuhiraukan lagi. Aku ingin cepat sampai di rumah. Terbayang masakan Ibuku yang selalu mengundang lidahku untuk menari. Selain itu, terbayang pula es buah telur puyuh racikannya yang asam manis menyegarkan. “Hmmm ... segaaarrrr”. Tak terasa air liurku menetes di ujung lidahku.
“Ups! Untung nggak ada yang lihat”. Aku tersenyum geli mengingat kejadian barusan.
Sambil terus berjalan, kuperhatikan satu per satu pemandangan yang nampak di depan mataku. Hilir mudik pejalan kaki, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, lalu lalang kendaraan tak membuat langkahku surut untuk menghentikan perjalananku di siang bolong ini.Sinar mentari tetap belum bersahabat. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di jalan yang kumaksud.
Tiba-tiba ... DUAARR!! Terdengar dentuman keras. Deg! Jantungku terasa hampir copot. Kuarahkan pandanganku pada suara tadi. Jantungku berdegup lebih kencang.
"Suara apa itu? Bomkah? Teroriskah? Teroris siapa lagi yang telah memporak-porandakan negeriku ini?", dugaanku. Kulihat orang-orang berlarian menuju arah dentuman itu. Mereka langsung mengerumuni sumber dentuman itu. Aku pun bergegas mengikuti mereka.
Ternyata, telah terjadi tabrakan antara dua pengendara motor. Entah bagaimana kejadian itu pada mulanya. Semua terjadi begitu cepat. Orang-orang terlihat panik.
"Cepat hubungi rumah sakit terdekat! Minta dikirim Ambulan! Korban dua-duanya parah!", teriak seseorang memerintah entah pada siapa.
"Minggir-minggir! Jangan terlalu dekat dengan korban. Nanti Evakuasi korban susah!", bentak seseorang.
"Bagaimana mulanya ini? Siapa yang menabrak duluan? Kedua motor satu arah atau berlawanan?". Pertanyaan itu terus bertubi-tubi diajukan tanpa ada yang menjawab.
"Oh ... ternyata, kedua motor itu awalnya saling menghindari seorang anak kecil yang berlari menyeberang jalan", jelas seseorang.
"Kemana anak itu?", orang-orang saling berpandangan mencari anak tersebut.
"Terluka parah tidak?", tanya beberapa orang lagi.
Tetapi setelah dicari, anak kecil itu tidak ada. Korban hanyalah kedua pengendara motor itu. "Hmmm ... aneh", lanjut orang-orang itu lagi.
"Mungkin anak itu langsung berlari entah kemana. Takut kali", timpal yang lain.
Aku berusaha menyeruak pada kerumunan orang-orang. Aku ingin melihat dari dekat korban tabrakan itu.
"Ih ngeri! Innalillaahi", tak terasa mulutku mengucap. Dua-duanya terluka parah. Darah seperti tak berhenti keluar dari kedua kepala orang itu.
Beberapa orang berusaha memberikan pertolongan pertama sebelum ambulan datang. Untung saja, rumah sakit tidak terlalu jauh dari tempat kejadian. Ambulan yang diminta pun segera datang. Petugas dengan cepat membawa kedua korban itu.
"Ya Allah, mudah-mudahan kedua korban itu diberikan kesembuhan. Amiin", batinku prihatin.
Kerumunan pun bubar. Aku bergegas kembali melanjutkan perjalananku. Peristiwa tersebut terus menggelayuti diriku. Aku teringat Bapakku. Hal buruk terlintas di kepalaku. "Astaghfirullah. Ya Allah, jauhkanlah Bapakku dari hal yang paling buruk. Lindungilah dia, selamatkanlah dia. Amiin", bisikku dalam hati.
Kembali aku lanjutkan perjalananku. Sepanjang sisa perjalananku, batinku terus berdzikir mengucap nama-Nya. Peristiwa yang baru saja kulalui memberikan pelajaran yang sangat berarti bagiku.
"Terima kasih ya Allah, kalau saja uangku lebih dari dua ribu, aku tidak akan melalui jalanan ini tanpa makna yang berarti", bisikku lagi.
Tak terasa jalan Kenanga sudah di depan mata. Aku berteduh di depan mini market sambil menunggu angkot yang akan membawaku tiba di rumah yang damai.
"Bu, doakan agar aku selalu selamat sampai di rumah". Amiin.
(by Rizka Rahmania Yusuf Kleas 8 / 2011-2012)
Kususuri trotoar jalanan ini tanpa sahabat-sahabat terbaikku. Mereka sudah ngacir duluan. Annisa dijemput Ayahnya. Raihana sudah dua hari ini sakit. Aghnia, Raisha, dan Melati sudah naik angkot duluan. Aku kira uangku masih ada di kotak pensilku. Setelah kucari, ternyata ... di tempat itu pun aku tak menemukannya. Dengan langkah gontai, kutiti trotoar ini selangkah demi selangkah.
“Aku harus bisa sampai ke jalan Kenanga!”, tekadku. “Dari situ baru aku bisa naik angkot yang menuju arah rumahku dengan sisa ongkosku”, tekadku lagi.
Garangnya sang mentari tak kuhiraukan lagi. Aku ingin cepat sampai di rumah. Terbayang masakan Ibuku yang selalu mengundang lidahku untuk menari. Selain itu, terbayang pula es buah telur puyuh racikannya yang asam manis menyegarkan. “Hmmm ... segaaarrrr”. Tak terasa air liurku menetes di ujung lidahku.
“Ups! Untung nggak ada yang lihat”. Aku tersenyum geli mengingat kejadian barusan.
Sambil terus berjalan, kuperhatikan satu per satu pemandangan yang nampak di depan mataku. Hilir mudik pejalan kaki, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, lalu lalang kendaraan tak membuat langkahku surut untuk menghentikan perjalananku di siang bolong ini.Sinar mentari tetap belum bersahabat. Kupercepat langkah kakiku agar cepat sampai di jalan yang kumaksud.
Tiba-tiba ... DUAARR!! Terdengar dentuman keras. Deg! Jantungku terasa hampir copot. Kuarahkan pandanganku pada suara tadi. Jantungku berdegup lebih kencang.
"Suara apa itu? Bomkah? Teroriskah? Teroris siapa lagi yang telah memporak-porandakan negeriku ini?", dugaanku. Kulihat orang-orang berlarian menuju arah dentuman itu. Mereka langsung mengerumuni sumber dentuman itu. Aku pun bergegas mengikuti mereka.
Ternyata, telah terjadi tabrakan antara dua pengendara motor. Entah bagaimana kejadian itu pada mulanya. Semua terjadi begitu cepat. Orang-orang terlihat panik.
"Cepat hubungi rumah sakit terdekat! Minta dikirim Ambulan! Korban dua-duanya parah!", teriak seseorang memerintah entah pada siapa.
"Minggir-minggir! Jangan terlalu dekat dengan korban. Nanti Evakuasi korban susah!", bentak seseorang.
"Bagaimana mulanya ini? Siapa yang menabrak duluan? Kedua motor satu arah atau berlawanan?". Pertanyaan itu terus bertubi-tubi diajukan tanpa ada yang menjawab.
"Oh ... ternyata, kedua motor itu awalnya saling menghindari seorang anak kecil yang berlari menyeberang jalan", jelas seseorang.
"Kemana anak itu?", orang-orang saling berpandangan mencari anak tersebut.
"Terluka parah tidak?", tanya beberapa orang lagi.
Tetapi setelah dicari, anak kecil itu tidak ada. Korban hanyalah kedua pengendara motor itu. "Hmmm ... aneh", lanjut orang-orang itu lagi.
"Mungkin anak itu langsung berlari entah kemana. Takut kali", timpal yang lain.
Aku berusaha menyeruak pada kerumunan orang-orang. Aku ingin melihat dari dekat korban tabrakan itu.
"Ih ngeri! Innalillaahi", tak terasa mulutku mengucap. Dua-duanya terluka parah. Darah seperti tak berhenti keluar dari kedua kepala orang itu.
Beberapa orang berusaha memberikan pertolongan pertama sebelum ambulan datang. Untung saja, rumah sakit tidak terlalu jauh dari tempat kejadian. Ambulan yang diminta pun segera datang. Petugas dengan cepat membawa kedua korban itu.
"Ya Allah, mudah-mudahan kedua korban itu diberikan kesembuhan. Amiin", batinku prihatin.
Kerumunan pun bubar. Aku bergegas kembali melanjutkan perjalananku. Peristiwa tersebut terus menggelayuti diriku. Aku teringat Bapakku. Hal buruk terlintas di kepalaku. "Astaghfirullah. Ya Allah, jauhkanlah Bapakku dari hal yang paling buruk. Lindungilah dia, selamatkanlah dia. Amiin", bisikku dalam hati.
Kembali aku lanjutkan perjalananku. Sepanjang sisa perjalananku, batinku terus berdzikir mengucap nama-Nya. Peristiwa yang baru saja kulalui memberikan pelajaran yang sangat berarti bagiku.
"Terima kasih ya Allah, kalau saja uangku lebih dari dua ribu, aku tidak akan melalui jalanan ini tanpa makna yang berarti", bisikku lagi.
Tak terasa jalan Kenanga sudah di depan mata. Aku berteduh di depan mini market sambil menunggu angkot yang akan membawaku tiba di rumah yang damai.
"Bu, doakan agar aku selalu selamat sampai di rumah". Amiin.
(by Rizka Rahmania Yusuf Kleas 8 / 2011-2012)
0 komentar:
Posting Komentar