“ Bu, kita jadi pindah rumah, ya?” tanya Bika. Ibu mengangguk.
“ Kapan?” tanya Shafa.
“ Nanti, akhir pekan. Pas kalian libur.”
“ Sekolah kita pindah, nggak?” tanya Bika panik.
“ Nggak, justru rumah barunya deket ke sekolah. Naik sepeda juga bisa.”
“ Shaf, kata kamu, di rumah baru nanti, kita bakal dapet temen?” tanya Bika.
“ Mudah-mudahan. Tapi yang lebih dipengen, rumahnya misterius.”
“ Ya, dan banyak buku!”
“ Setuju!”
Keluarga Shafa dan Bika akan pindah rumah. Tidak, mereka tidak berbeda keluarga. Mereka kakak beradik. Mereka akan pindah ke rumah di daerah perkebunan, yang dijual beserta isi-isinya. Banyak yang bilang, rumah baru mereka misterius, dan itu membuat mereka makin bersemangat.
Saat akhir pekan.
“ Wow! Lihat, Shaf!” seru Bika sambil menunjuk ke satu arah.
“ Wah! Bu, ini bener rumah kita?” tanya Shafa.
Rumah baru mereka, bisa dibilang cukup besar. dengan gaya zaman Victoria, membuat rumah tersebut semakin misterius. Jendelanya besar, dan halamannya luas. Dan, ada lelaki tua melambai ke arah mereka. Lelaki itu tinggi besar, sehingga membuat Bika berpikir sesaat lelaki tua tersebut patung pemilik terdahulu. Lelaki itu mempunyai wajah khas orang Eropa.
“ Ya, Sayangku. Ini rumah kita.” Jawab ibu. Mereka berhenti di depan lelaki tua tersebut. Bapak keluar dan menjabat tangannya. Begitu pula ibu, Shafa dan Bika.
“ Hai anak-anak, salam kenal. Namaku Alexander, panggil saja Lexan, karena orang-orang memanggilku begitu.” Sapa lelaki tua itu.
“ Hai, Pak, Lexan, senang berkenalan dengan Anda.” Shafa menjabat tangan Pak Lexan, Bika mengikuti.
“ Hmm, Pak Lexan, apa kau orang Eropa?” tanya Bika.
“ Ya, nenekku orang Inggris. Rumah ini miliknya. Tapi, sekarang milik kalian. Apa kalian menyukai sesuatu yang misterius?”
“ Ya, tentu saja!”
“ Bagus! Karena rumah ini penuh misteri, kau tahu. Nenekku berkata, rumah ini cocok untuk jiwa penjelajah. Aku sering menjelajahi rumah ini, saat aku seumuran kalian. Banyak sekali misteri, dan itu yang membuat rumah ini mengasyikkan.”
“ Apa ada benda yang benar-benar misteri?”
“ Semua benda disini misteri, sangat misteri. Rumahnya sendiri pun misteri.”
“ Tapi, tidak ada hantu, kan?” tanya Shafa sambil bergidik.
“ Tidak, tentu saja. Rumah ini hanya misterius. Tidak ada hantu, percaya padaku. Dan --- eh, sudah selesai?” Pak Lexan tiba-tiba bertanya pada bapak yang selesai mengangkut barang, seperti mengalihkan pembicaraan.
“ Ya, rumahnya luas sekali, ya?” ujar bapak.
“ Benar. Tapi jika sudah terbiasa, tidak akan kenapa-kenapa.” Jawab Pak Lexan, “ Baiklah, saya harus pergi. Selamat atas rumah baru kalian. Dan anak-anak, selamat berpetualang. Sampai jumpa.” Pak Lexan pergi dengan mobilnya.
“ Bagaimana tidak misteri, pemiliknya saja misteri.” Ujar Bika.
“ Maksudmu?” tanya Shafa.
“ Saat kau bertanya tentang hantu, di menjawab ‘ tidak ada hantu, percaya padaku’ lalu ‘dan...’ tapi tidak jadi karena bapak datang dan --- sepertinya --- mengalihkan pembicaran ‘ eh, sudah selesai?’. Kau mengerti maksudku?”
Shafa malah memiringkan kepalanya, tanda dia tidak mengerti.
“ Aduh, begini, sepertinya dia ingin memberitahu sesuatu, tapi tidak jadi karena bapak datang. Mungkin dia ingin hanya kita berdua yang tahu.”
“ Ooooh... begiiituuu... eh, bagaimana kalau sekarang kita melihat kamar kita?”
“ Ooooh! Ini kamar kita?” seru Shafa.
“ Victoria banget!” seru Bika tak kalah keras.
Kamar itu termasuk luas, dengan dua kasur di sisi sebelah kanan. Ada jendela yang menghadap kita saat kita masuk, dan di sebelah kanannya ada lemari dengan cermin besar di salah satu pintunya, menghadap ke salah satu kasur. Di tengah ruangan, tergelar karpet.
“ Kamu bawa buku tentang Victoria itu, kan?” selidik Shafa.
“ Bawa, dong.”. Mereka langsung duduk di kasur yang menghadap lemari, dan mulai membuka buku yang mereka bawa.
“ Wah, lihat! Bajunya bagus.” Celetuk Bika.
“ Ah, yang itu biasa aja, yang ini yang bagus.” Jawab Shafa.
“ Bagus yang ini, dong! Aku jadi pengen baju gini, nanti bisa mirip --- loh!” Bika tertegun melihat cermin.
“ Ada apa?” tanya Shafa. Ia melihat ke cermin, dan langsung gemetar. “ Itu, bukan hantu, kan?”
“ Bukan. Itu aku.”
“ Tapi di cermin...”
Di cermin, bukan bayangan Bika yang dipantulkan. Oh, itu memang Bika, tapi pakaiannya berbeda. Bika sekarang memakai kaus, jaket dan celana panjang. Tapi di cermin, Bika memakai baju zaman Victoria yang ia inginkan! Dengan rambut ikal --- padahal, Bika berambut lurus ---, gaun merah dengan rok lebar --- ada bagian putih di dada ---, dan korset berwarna hitam. Bika pura-pura mengangkat rok lebar itu, dan benar-benar terangkat. Di dalamnya, ada beberapa rok dalam berwarna putih, dan sepatu cokelat panjang sampai lutut.
“ Itu baju yang ku inginkan, tapi awalnya bayanganku tidak seperti itu!” kata Bika.
“ Aneh, biar kucoba.” Shafa membayangkan baju yang pernah ia lihat di toko, dan melihat ke cermin. Bayangannya memakai baju yang ia bayangkan.
“ Wow, itu lemari ajaib.” ucap Bika.
“ Bukan, cerminnya yang ajaib.” koreksi Shafa.
“ Oh iya. Biar kuulang. Wow, itu cermin ajaib.”
“ Ya. Keren. Segala yang kita bayangkan ada.”
Hening.
“ Coba kita bayangkan baju kita semula.” Bayangan di cermin berubah lagi. Mereka terdiam, masih kaget karena cermin itu.
“ Bisa kita coba lagi?” tanya Bika.
“ Lebih baik tidak, Bika. Maaf. Tapi aku takut ada yang memata-matai kita, tahu tentang cermin ini, dan berusaha mencurinya. Bahkan, meneror kita! Sekali lagi maaf, Bika. Tapi aku kakak. Aku harus bertindak tegas, kan?” tegas Shafa.
“ Yah, baiklah.” Bika kecewa.
Sebenarnya, biar kuberi tahu, sudah terlambat Shafa mengatakan itu. Sejak lima tahun yang lalu, memang ada yang menginginkan rumah itu secara paksa. Namanya Livia. Umurnya sekitar 30 tahun, dan dijuluki ‘Pencuri Cantik’ karena ia memang cantik dan harus mendapatkan apapun yang ia inginkan, termasuk rumah ‘Victoria’ milik Shafa dan Bika. Ia akan melakukan apa saja, asalnya keinginannya terpenuhi. Ia menginginkan rumah ‘Victoria’ karena ia tahu tentang benda-benda misteri, termasuk cermin yang baru Shafa dan Bika temukan. Ia berniat menjualnya ke luar negeri, sehingga ia menjadi kaya raya. Tapi untungnya, Pak Lexan mencegahnya.
“ Rumah ini, milik keluarga dengan maksimal 3 orang anak, dan barang yang ada di rumah ini, tidak boleh dijual. Ini pesan, ini amanat!” kata Pak Lexan saat mencegah Livia. Itulah yang membuat Livia geram dan terus berusaha menguasai rumah ‘Victoria’.
Sore harinya.
“ Lusa, ibu sama bapak mau ke rumah lama dulu, ya.” Kata ibu.
“ Mau ngapain?” tanya Bika.
“ Mau ngurus surat pindah, sama mau ambil barang yang belum kebawa. Kalian mau ikut atau tunggu sini aja?”
“ Hmm... bapak sama ibu pergi berapa lama?”
“ Sekitar.. dua hari. Mau ikut atau nunggu disini?”
“ Nunggu aja, deh.”
Dua hari kemudian.
“ Dadah!” seru Shafa dan Bika sambil melambaikan tangan pada ibu dan bapak, lalu masuk kembali.
“ Sekarang, kita jelajahin rumah ini!”. Baru saja selesai berkata begitu, ada yang mengetuk pintu. Shafa langsung membuka pintu. Terlihat seorang wanita yang --- menurut Bika --- mempunyai wajah kriminal.
“ Selamat pagi, adik-adik. Nama saya Livia. Maksud kedatangan saya ingin menanyakan berapa harga rumah adik ini. Saya tertarik dengan rumah adik. Kira-kira, berapa harganya?” tanya Livia.
“ Harga rumah? Maksud Anda apa?” Shafa berbalik tanya.
“ Ya, saya tertarik dengan rumah adik, saya mau membeli rumah adik, berapa harganya?”
“ Enak saja mau beli! Kami baru tinggal di sini, masa sudah dijual lagi? Tidak, tidak bisa!” seru Bika. Brak! Pintu langsung dibanting Bika. Livia hanya bisa menggeram.
“ Awas saja! Berani macam-macam sama Livia, bakal tahu rasa! Kurang ajar!” geram Livia, lalu ia pergi.
“ Menurutku, wanita tadi cantik.” Ujar Shafa.
“ Ya, tapi punya wajah kriminal. Siapa namanya tadi? Mimpia, simvia?”
“ Kue Pia? Atau, bakpia?”
“ Bukan, hmm.. Lumpia kali, ya. Udahlah, ayo jalan-jalan!”. Mereka mulai menjelajahi semua ruangan. Mulai ruang tamu, kamar mereka sendiri, kamar orangtuanya, kamar tamu, kamar mandi, dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang TV, halaman belakang, hingga ruang bawah tanah. Tapi, mereka lebih lama di ruang bawah tanah. Kata mereka, ruang itu penuh misteri.
“ Lama-lama bosen. Kita nonton TV aja, yuk!” ajak Bika.
Sore harinya.
“ Ada yang ngetuk pintu lagi? Siapa sih?” tanya Shafa. Bika menghampiri pintu, tapi tidak membukanya. Ia malah berteriak.
“ Siapa itu?!” seru Bika.
“ Ini saya, yang tadi pagi datang.” Balas Livia.
“ Oh, Mbak Lumpia, ya?”. Livia mendengus.
“ Livia dik, bukan Lumpia.”. Bika membuka pintu. Telihat Livia dan seorang pria besar. Bika terlihat tenang.
“ Dik, saya mau mengadakan penawaran lagi. Saya mau---“
“ Kan udah dibilang, rumah ini nggak dijual!” Bika mau menutup pintu, tapi dicegah Livia.
“ Nanti dulu, dik. Saya mau menawarkan apa saja yang adik inginkan. Sekarang, bilang pada saya, apa yang adik inginkan?”
“ Hmm... Enggak! Aku tahu, pasti ujung-ujungnya ke rumah ini, iya kan?! Enggak, makasih!”. Brak! Bika membanting pintu lagi. Kali ini, Livia sangat marah. Ia berteriak:
“ Berani-beraninya, anak kecil! Sekarang, aku benar-benar marah!”
“ Oh ya? Mana, tunjukkan kalau marah!” teriak Shafa. Ternyata, Livia benar-benar marah. Terdengar gebrakkan di pintu. Bika dan Shafa berpegangan tangan erat. Dan, BRAK! Pintu didobrak oleh lelaki besar itu!
“ Aaaaa!!!” jerit Shafa dan Bika. Mereka langsung berlari. Livia mengejar. Lelaki besar tadi tidak ikut, dia menunggu di luar.
“ Kamu malah nantang! Udah dibilang, dia mukanya kriminal! Eh, bener kriminal! Kamu malah nantang!” seru Bika sambil berlari.
“ Iya, ini salahku!” Shafa mengaku. Mereka berlari ke semua ruangan, hingga akhirnya, mereka berlari ke kamar. Mereka mengunci pintu, dan bersender ke lemari bercermin. Terdengar Livia berusaha masuk ke kamar mereka. Mereka makin ketakutan, sampai mereka bersender ke cermin, dan..
“ Aaa! Shafa! Aku kesedot!” jerit Bika.
“ Bika!” Shafa meraih Bika, dan mereka terhisap ke cermin!
Sesaat, mereka tidak sadar. Sampai suatu cahaya menyilaukan membangunkan mereka.
“ Uh, di mana kita?” tanya Bika. Mereka melihat sekeliling. Hanya hamparan bunga matahari.
“ Apa ada orang?” tanya Shafa.
“ Psst, aku di sini.” Terdengar satu suara.
“ Siapa itu?”
“ Ini aku, Pak Lexan.”
“ Pak Lexan! Kenapa Anda bisa di sini juga?” jerit Bika terdengar bahagia.
“ Ini tempat rahasiaku. Hei, kalian masuk lewat mana?”
“ Apa maksudmu lewat mana? “ tanya Shafa.
“ Oh iya, aku belum cerita. Begini, di rumah ‘Victoria’ kalian, ada beberapa pintu menuju tempat ini.”
“ Apa nama tempat ini?”
“ Belum ada nama, tapi untuk sementara kuberi nama ‘Negeri di dalam Rumah Bergaya Zaman Victoria’.”
“ Uh, panjang sekali.” Celetuk Bika.
“ Makanya, tolong carikan nama, ya. Eh, kalian masuk lewat mana?”
“ Dari cermin di lemari kamar kami.”
“ Oh, Cermin di Lemari. Itu salah satu pintu menuju ke sini.”
“ Pak Lexan sendiri masuk dari mana?”
“ Di rumahku juga ada satu pintu menuju ke sini. Namanya ‘Jendela Cahaya’. Di rumah kalian, ada beberapa pintu di rumah itu, yaitu ‘Cermin di Lemari’, ‘Loker Bawah Tanah’, dan ‘Pintu Pohon Halaman Belakang’. Itu yang membuat Livia ingin menguasai rumah ini.”
“ Kau kenal si Lumpia itu? Wanita muka kriminal?” celetuk Bika lagi.
“ Ya. Dari dulu, dia menginginkan rumah ini, semenjak tahu ada ‘Negeri di dalam Rumah Bergaya Zaman Victoria’ di rumah ini. Dia ingin menguasai negeri ini, rumah ini. Aku takut dia mengacaukan negeri ini.”
“ Ya, Anda memang patut takut rumah ini diambil, mukanya bener-bener kriminal.” Bika berceletuk lagi. Kali ini, Shafa menyenggolnya. “ Jangan main-main. Jaga sikap, dik.” Bisik Shafa.
“ Tapi, cermin itu memantulkan apa saja yang kita inginkan. Kemarin, Bika tidak sengaja mencobanya, dia membayangkan baju zaman Victoria yang menurutnya bagus, dan bayangannya di cermin sedang mengenakan baju tersebut. Aku pun mencoba membayangkan baju yang pernah kulihat di toko, dan di cermin aku memakai baju itu.” Jelas Shafa.
“ Ya, memang benar. Cermin itu ajaib. Tapi, hanya orang yang berniat baik saja yang bisa memakainya. Orang jahat seperti Livia tidak akan mungkin bisa memakainya.”
“ Tapi, bagaimana kita bisa kembali?” tanya Shafa.
“ Lebih baik jangan dulu kembali. Lumpia masih ada di sana, dan aku agak takut pada pria besar tadi.” Kata Bika.
“ Oh, pria besar itu. Namanya Bison.” Jawab Pak Lexan.
“ Bison?”
“ Tidak, itu hanya julukanku padanya. Aku tahu cara menghentikannya. Dulu, Livia menginginkan salah satu benda yang menurutnya ajaib, dan aku rasa dia masih menginginkannya sampai sekarang.”
“ Apa itu?”
“ Cermin di Lemari. Ia paling ingin benda itu, karena menurutnya itu satu-satunya jalan ke negeri ini. Tapi, jika benda itu berada di tangan orang jahat, maka akan berubah fungsi. Dia akan terlempar ke sesuatu yang sangat ia takuti. Oh, kalau tidak salah, dia sangat takut pada hutan. Nah, kemungkinan dia akan terlempar ke sana.”
“ Bagaimana cara dia kembali?”
“ Setelah ia mengalahkan rasa takutnya, dan berjanji merubah sikap.”
“ Pasti akan lama sekali!” seru Bika.
“ Tidak, satu hari di negeri ini atau negeri lain, sama saja melewatkan satu detik di dunia kita.”
“ Tapi kalau bertahun-tahun?”
“ Hanya beberapa menit sampai jam.”
“ Dan satu pertanyaan lagi, bagaimana cara kita kembali?”
“ Lebih baik, jangan dulu. Aku ingin melihat sekitar, siapa tahu ada orang lain.” Celetuk Bika.
“ Tidak, jangan.” Kata Pak Lexan, “ Kalian kesini bertujuan untuk berunding. Jika ada salah satu diantara kalian melupakan tujuan awal kalian, kita akan terjebak di sini selamanya.”
“ Hei, kami tidak bertujuan begitu.” Ujar Shafa.
“ Memang, tapi itu tujuanku. Jika salah satu diantara kita mempunyai satu tujuan, maka semuanya akan bertujuan sama.”
“ Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“ Pegang tanganku erat-erat,” instruksi Pak Lexan, “ lalu lompat. Satu, dua, tiga!”. Saat mendarat, mereka sudah berada di kamar lagi. Livia masih mencoba membuka pintu. Bika langsung membuka pintu. Livia masuk dengan garang.
“ Lexan! Aku masih menagih hutangmu padaku! Mana cermin ajaib itu?” tanya Livia.
“ Lepaskan cermin itu.” Suruh Pak Lexan. Shafa mengernyit.
“ Dilepas? Memangnya bisa? Cermin itu besar!”
“ Iya, lepas. Cepat lepaskan. Bisa, kok.”. Segera Shafa melepaskan cermin itu. Dengan susah payah, ia berhasil. Cermin yang besar, tetapi ringan.
“ Hei, bisa dilepas!” seru Bika. Shafa segera menyerahkan cermin itu kepada Livia.
“ Hah! Apa ini hanya tipuanmu, agar aku cepat keluar dari rumah ini?” selidik Livia.
“ Percaya padaku. Ini bukan tipuan.”. Livia mengambil cermin itu, menatapnya, lalu ia tersentak, karena bayangan dalam cermin itu hutan, yang ia takuti. Lalu, ia merasa terhisap ke cermin itu, dan sekejap menghilang. Bika segera memungut cermin dan menatapnya. Lalu, ada bayangan Livia sedang terjebak di hutan.
“ Kalian gila! Untuk apa kalian menjebakku di sini?” jerit Livia.
“ Untuk memberimu pelajaran. Apa lagi?” jawab Shafa singkat.
“ Keluarkan aku dari sini!”
“ Kalahin dulu rasa takut, terus ubah sikap. Kalau sudah, lompat, selesai. Gampang, kok. Oh iya, selamat bersenang-senang! Awas! Di belakang ada singa! Hahaha!” Bika tertawa.
“ Aaa! Tidak! Tolong!” tak lama, bayangan Livia hilang. Mereka bertiga menuju ruang tengah, tempat si Bison menunggu. Si Bison langsung berdiri.
“ Nih, bos kamu.” Kata Bika sambil menyerahkan cermin. Si Bison hanya mengernyitkan dahi.
“ Bos kamu, ada di dalem cermin. Udah sana! Bawa pulang! Hus, hus!” usir Shafa. Bison hanya menerima cermin, dan pergi.
“ Kita berhasil!”
Keesokkan harinya.
“ Ya ampun, ini pintunya kenapa? Kok, kayak didobrak?” seru ibu saat sampai rumah.
“ Itu bu, kemarin saat anak-anak main ke peternakan, ada sapi yang lepas, ngejar-ngejar mereka. Mereka takut, langsung ke rumah. Eh, sapinya malah ngedobrak pintu. Kalian, sih, pakai baju merah. Untung saya lagi lewat ke sini, terus ada peternak, kami seret sapinya keluar.” Bual Pak Lexan. Ibu hanya mengangguk-angguk. Pak Lexan mengedipkan mata ke Shafa dan Bika. Mereka hanya senyum-senyum. Sebab, hanya mereka yang tahu kejadiannya.
Alhamdulillah... ( Rizka Rahmania Yusuf Kelas 8 / 2011-2012)
Bandung, 15 Desember 2011
Pukul 23.03 WIB
“ Kapan?” tanya Shafa.
“ Nanti, akhir pekan. Pas kalian libur.”
“ Sekolah kita pindah, nggak?” tanya Bika panik.
“ Nggak, justru rumah barunya deket ke sekolah. Naik sepeda juga bisa.”
“ Shaf, kata kamu, di rumah baru nanti, kita bakal dapet temen?” tanya Bika.
“ Mudah-mudahan. Tapi yang lebih dipengen, rumahnya misterius.”
“ Ya, dan banyak buku!”
“ Setuju!”
Keluarga Shafa dan Bika akan pindah rumah. Tidak, mereka tidak berbeda keluarga. Mereka kakak beradik. Mereka akan pindah ke rumah di daerah perkebunan, yang dijual beserta isi-isinya. Banyak yang bilang, rumah baru mereka misterius, dan itu membuat mereka makin bersemangat.
Saat akhir pekan.
“ Wow! Lihat, Shaf!” seru Bika sambil menunjuk ke satu arah.
“ Wah! Bu, ini bener rumah kita?” tanya Shafa.
Rumah baru mereka, bisa dibilang cukup besar. dengan gaya zaman Victoria, membuat rumah tersebut semakin misterius. Jendelanya besar, dan halamannya luas. Dan, ada lelaki tua melambai ke arah mereka. Lelaki itu tinggi besar, sehingga membuat Bika berpikir sesaat lelaki tua tersebut patung pemilik terdahulu. Lelaki itu mempunyai wajah khas orang Eropa.
“ Ya, Sayangku. Ini rumah kita.” Jawab ibu. Mereka berhenti di depan lelaki tua tersebut. Bapak keluar dan menjabat tangannya. Begitu pula ibu, Shafa dan Bika.
“ Hai anak-anak, salam kenal. Namaku Alexander, panggil saja Lexan, karena orang-orang memanggilku begitu.” Sapa lelaki tua itu.
“ Hai, Pak, Lexan, senang berkenalan dengan Anda.” Shafa menjabat tangan Pak Lexan, Bika mengikuti.
“ Hmm, Pak Lexan, apa kau orang Eropa?” tanya Bika.
“ Ya, nenekku orang Inggris. Rumah ini miliknya. Tapi, sekarang milik kalian. Apa kalian menyukai sesuatu yang misterius?”
“ Ya, tentu saja!”
“ Bagus! Karena rumah ini penuh misteri, kau tahu. Nenekku berkata, rumah ini cocok untuk jiwa penjelajah. Aku sering menjelajahi rumah ini, saat aku seumuran kalian. Banyak sekali misteri, dan itu yang membuat rumah ini mengasyikkan.”
“ Apa ada benda yang benar-benar misteri?”
“ Semua benda disini misteri, sangat misteri. Rumahnya sendiri pun misteri.”
“ Tapi, tidak ada hantu, kan?” tanya Shafa sambil bergidik.
“ Tidak, tentu saja. Rumah ini hanya misterius. Tidak ada hantu, percaya padaku. Dan --- eh, sudah selesai?” Pak Lexan tiba-tiba bertanya pada bapak yang selesai mengangkut barang, seperti mengalihkan pembicaraan.
“ Ya, rumahnya luas sekali, ya?” ujar bapak.
“ Benar. Tapi jika sudah terbiasa, tidak akan kenapa-kenapa.” Jawab Pak Lexan, “ Baiklah, saya harus pergi. Selamat atas rumah baru kalian. Dan anak-anak, selamat berpetualang. Sampai jumpa.” Pak Lexan pergi dengan mobilnya.
“ Bagaimana tidak misteri, pemiliknya saja misteri.” Ujar Bika.
“ Maksudmu?” tanya Shafa.
“ Saat kau bertanya tentang hantu, di menjawab ‘ tidak ada hantu, percaya padaku’ lalu ‘dan...’ tapi tidak jadi karena bapak datang dan --- sepertinya --- mengalihkan pembicaran ‘ eh, sudah selesai?’. Kau mengerti maksudku?”
Shafa malah memiringkan kepalanya, tanda dia tidak mengerti.
“ Aduh, begini, sepertinya dia ingin memberitahu sesuatu, tapi tidak jadi karena bapak datang. Mungkin dia ingin hanya kita berdua yang tahu.”
“ Ooooh... begiiituuu... eh, bagaimana kalau sekarang kita melihat kamar kita?”
“ Ooooh! Ini kamar kita?” seru Shafa.
“ Victoria banget!” seru Bika tak kalah keras.
Kamar itu termasuk luas, dengan dua kasur di sisi sebelah kanan. Ada jendela yang menghadap kita saat kita masuk, dan di sebelah kanannya ada lemari dengan cermin besar di salah satu pintunya, menghadap ke salah satu kasur. Di tengah ruangan, tergelar karpet.
“ Kamu bawa buku tentang Victoria itu, kan?” selidik Shafa.
“ Bawa, dong.”. Mereka langsung duduk di kasur yang menghadap lemari, dan mulai membuka buku yang mereka bawa.
“ Wah, lihat! Bajunya bagus.” Celetuk Bika.
“ Ah, yang itu biasa aja, yang ini yang bagus.” Jawab Shafa.
“ Bagus yang ini, dong! Aku jadi pengen baju gini, nanti bisa mirip --- loh!” Bika tertegun melihat cermin.
“ Ada apa?” tanya Shafa. Ia melihat ke cermin, dan langsung gemetar. “ Itu, bukan hantu, kan?”
“ Bukan. Itu aku.”
“ Tapi di cermin...”
Di cermin, bukan bayangan Bika yang dipantulkan. Oh, itu memang Bika, tapi pakaiannya berbeda. Bika sekarang memakai kaus, jaket dan celana panjang. Tapi di cermin, Bika memakai baju zaman Victoria yang ia inginkan! Dengan rambut ikal --- padahal, Bika berambut lurus ---, gaun merah dengan rok lebar --- ada bagian putih di dada ---, dan korset berwarna hitam. Bika pura-pura mengangkat rok lebar itu, dan benar-benar terangkat. Di dalamnya, ada beberapa rok dalam berwarna putih, dan sepatu cokelat panjang sampai lutut.
“ Itu baju yang ku inginkan, tapi awalnya bayanganku tidak seperti itu!” kata Bika.
“ Aneh, biar kucoba.” Shafa membayangkan baju yang pernah ia lihat di toko, dan melihat ke cermin. Bayangannya memakai baju yang ia bayangkan.
“ Wow, itu lemari ajaib.” ucap Bika.
“ Bukan, cerminnya yang ajaib.” koreksi Shafa.
“ Oh iya. Biar kuulang. Wow, itu cermin ajaib.”
“ Ya. Keren. Segala yang kita bayangkan ada.”
Hening.
“ Coba kita bayangkan baju kita semula.” Bayangan di cermin berubah lagi. Mereka terdiam, masih kaget karena cermin itu.
“ Bisa kita coba lagi?” tanya Bika.
“ Lebih baik tidak, Bika. Maaf. Tapi aku takut ada yang memata-matai kita, tahu tentang cermin ini, dan berusaha mencurinya. Bahkan, meneror kita! Sekali lagi maaf, Bika. Tapi aku kakak. Aku harus bertindak tegas, kan?” tegas Shafa.
“ Yah, baiklah.” Bika kecewa.
Sebenarnya, biar kuberi tahu, sudah terlambat Shafa mengatakan itu. Sejak lima tahun yang lalu, memang ada yang menginginkan rumah itu secara paksa. Namanya Livia. Umurnya sekitar 30 tahun, dan dijuluki ‘Pencuri Cantik’ karena ia memang cantik dan harus mendapatkan apapun yang ia inginkan, termasuk rumah ‘Victoria’ milik Shafa dan Bika. Ia akan melakukan apa saja, asalnya keinginannya terpenuhi. Ia menginginkan rumah ‘Victoria’ karena ia tahu tentang benda-benda misteri, termasuk cermin yang baru Shafa dan Bika temukan. Ia berniat menjualnya ke luar negeri, sehingga ia menjadi kaya raya. Tapi untungnya, Pak Lexan mencegahnya.
“ Rumah ini, milik keluarga dengan maksimal 3 orang anak, dan barang yang ada di rumah ini, tidak boleh dijual. Ini pesan, ini amanat!” kata Pak Lexan saat mencegah Livia. Itulah yang membuat Livia geram dan terus berusaha menguasai rumah ‘Victoria’.
Sore harinya.
“ Lusa, ibu sama bapak mau ke rumah lama dulu, ya.” Kata ibu.
“ Mau ngapain?” tanya Bika.
“ Mau ngurus surat pindah, sama mau ambil barang yang belum kebawa. Kalian mau ikut atau tunggu sini aja?”
“ Hmm... bapak sama ibu pergi berapa lama?”
“ Sekitar.. dua hari. Mau ikut atau nunggu disini?”
“ Nunggu aja, deh.”
Dua hari kemudian.
“ Dadah!” seru Shafa dan Bika sambil melambaikan tangan pada ibu dan bapak, lalu masuk kembali.
“ Sekarang, kita jelajahin rumah ini!”. Baru saja selesai berkata begitu, ada yang mengetuk pintu. Shafa langsung membuka pintu. Terlihat seorang wanita yang --- menurut Bika --- mempunyai wajah kriminal.
“ Selamat pagi, adik-adik. Nama saya Livia. Maksud kedatangan saya ingin menanyakan berapa harga rumah adik ini. Saya tertarik dengan rumah adik. Kira-kira, berapa harganya?” tanya Livia.
“ Harga rumah? Maksud Anda apa?” Shafa berbalik tanya.
“ Ya, saya tertarik dengan rumah adik, saya mau membeli rumah adik, berapa harganya?”
“ Enak saja mau beli! Kami baru tinggal di sini, masa sudah dijual lagi? Tidak, tidak bisa!” seru Bika. Brak! Pintu langsung dibanting Bika. Livia hanya bisa menggeram.
“ Awas saja! Berani macam-macam sama Livia, bakal tahu rasa! Kurang ajar!” geram Livia, lalu ia pergi.
“ Menurutku, wanita tadi cantik.” Ujar Shafa.
“ Ya, tapi punya wajah kriminal. Siapa namanya tadi? Mimpia, simvia?”
“ Kue Pia? Atau, bakpia?”
“ Bukan, hmm.. Lumpia kali, ya. Udahlah, ayo jalan-jalan!”. Mereka mulai menjelajahi semua ruangan. Mulai ruang tamu, kamar mereka sendiri, kamar orangtuanya, kamar tamu, kamar mandi, dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang TV, halaman belakang, hingga ruang bawah tanah. Tapi, mereka lebih lama di ruang bawah tanah. Kata mereka, ruang itu penuh misteri.
“ Lama-lama bosen. Kita nonton TV aja, yuk!” ajak Bika.
Sore harinya.
“ Ada yang ngetuk pintu lagi? Siapa sih?” tanya Shafa. Bika menghampiri pintu, tapi tidak membukanya. Ia malah berteriak.
“ Siapa itu?!” seru Bika.
“ Ini saya, yang tadi pagi datang.” Balas Livia.
“ Oh, Mbak Lumpia, ya?”. Livia mendengus.
“ Livia dik, bukan Lumpia.”. Bika membuka pintu. Telihat Livia dan seorang pria besar. Bika terlihat tenang.
“ Dik, saya mau mengadakan penawaran lagi. Saya mau---“
“ Kan udah dibilang, rumah ini nggak dijual!” Bika mau menutup pintu, tapi dicegah Livia.
“ Nanti dulu, dik. Saya mau menawarkan apa saja yang adik inginkan. Sekarang, bilang pada saya, apa yang adik inginkan?”
“ Hmm... Enggak! Aku tahu, pasti ujung-ujungnya ke rumah ini, iya kan?! Enggak, makasih!”. Brak! Bika membanting pintu lagi. Kali ini, Livia sangat marah. Ia berteriak:
“ Berani-beraninya, anak kecil! Sekarang, aku benar-benar marah!”
“ Oh ya? Mana, tunjukkan kalau marah!” teriak Shafa. Ternyata, Livia benar-benar marah. Terdengar gebrakkan di pintu. Bika dan Shafa berpegangan tangan erat. Dan, BRAK! Pintu didobrak oleh lelaki besar itu!
“ Aaaaa!!!” jerit Shafa dan Bika. Mereka langsung berlari. Livia mengejar. Lelaki besar tadi tidak ikut, dia menunggu di luar.
“ Kamu malah nantang! Udah dibilang, dia mukanya kriminal! Eh, bener kriminal! Kamu malah nantang!” seru Bika sambil berlari.
“ Iya, ini salahku!” Shafa mengaku. Mereka berlari ke semua ruangan, hingga akhirnya, mereka berlari ke kamar. Mereka mengunci pintu, dan bersender ke lemari bercermin. Terdengar Livia berusaha masuk ke kamar mereka. Mereka makin ketakutan, sampai mereka bersender ke cermin, dan..
“ Aaa! Shafa! Aku kesedot!” jerit Bika.
“ Bika!” Shafa meraih Bika, dan mereka terhisap ke cermin!
Sesaat, mereka tidak sadar. Sampai suatu cahaya menyilaukan membangunkan mereka.
“ Uh, di mana kita?” tanya Bika. Mereka melihat sekeliling. Hanya hamparan bunga matahari.
“ Apa ada orang?” tanya Shafa.
“ Psst, aku di sini.” Terdengar satu suara.
“ Siapa itu?”
“ Ini aku, Pak Lexan.”
“ Pak Lexan! Kenapa Anda bisa di sini juga?” jerit Bika terdengar bahagia.
“ Ini tempat rahasiaku. Hei, kalian masuk lewat mana?”
“ Apa maksudmu lewat mana? “ tanya Shafa.
“ Oh iya, aku belum cerita. Begini, di rumah ‘Victoria’ kalian, ada beberapa pintu menuju tempat ini.”
“ Apa nama tempat ini?”
“ Belum ada nama, tapi untuk sementara kuberi nama ‘Negeri di dalam Rumah Bergaya Zaman Victoria’.”
“ Uh, panjang sekali.” Celetuk Bika.
“ Makanya, tolong carikan nama, ya. Eh, kalian masuk lewat mana?”
“ Dari cermin di lemari kamar kami.”
“ Oh, Cermin di Lemari. Itu salah satu pintu menuju ke sini.”
“ Pak Lexan sendiri masuk dari mana?”
“ Di rumahku juga ada satu pintu menuju ke sini. Namanya ‘Jendela Cahaya’. Di rumah kalian, ada beberapa pintu di rumah itu, yaitu ‘Cermin di Lemari’, ‘Loker Bawah Tanah’, dan ‘Pintu Pohon Halaman Belakang’. Itu yang membuat Livia ingin menguasai rumah ini.”
“ Kau kenal si Lumpia itu? Wanita muka kriminal?” celetuk Bika lagi.
“ Ya. Dari dulu, dia menginginkan rumah ini, semenjak tahu ada ‘Negeri di dalam Rumah Bergaya Zaman Victoria’ di rumah ini. Dia ingin menguasai negeri ini, rumah ini. Aku takut dia mengacaukan negeri ini.”
“ Ya, Anda memang patut takut rumah ini diambil, mukanya bener-bener kriminal.” Bika berceletuk lagi. Kali ini, Shafa menyenggolnya. “ Jangan main-main. Jaga sikap, dik.” Bisik Shafa.
“ Tapi, cermin itu memantulkan apa saja yang kita inginkan. Kemarin, Bika tidak sengaja mencobanya, dia membayangkan baju zaman Victoria yang menurutnya bagus, dan bayangannya di cermin sedang mengenakan baju tersebut. Aku pun mencoba membayangkan baju yang pernah kulihat di toko, dan di cermin aku memakai baju itu.” Jelas Shafa.
“ Ya, memang benar. Cermin itu ajaib. Tapi, hanya orang yang berniat baik saja yang bisa memakainya. Orang jahat seperti Livia tidak akan mungkin bisa memakainya.”
“ Tapi, bagaimana kita bisa kembali?” tanya Shafa.
“ Lebih baik jangan dulu kembali. Lumpia masih ada di sana, dan aku agak takut pada pria besar tadi.” Kata Bika.
“ Oh, pria besar itu. Namanya Bison.” Jawab Pak Lexan.
“ Bison?”
“ Tidak, itu hanya julukanku padanya. Aku tahu cara menghentikannya. Dulu, Livia menginginkan salah satu benda yang menurutnya ajaib, dan aku rasa dia masih menginginkannya sampai sekarang.”
“ Apa itu?”
“ Cermin di Lemari. Ia paling ingin benda itu, karena menurutnya itu satu-satunya jalan ke negeri ini. Tapi, jika benda itu berada di tangan orang jahat, maka akan berubah fungsi. Dia akan terlempar ke sesuatu yang sangat ia takuti. Oh, kalau tidak salah, dia sangat takut pada hutan. Nah, kemungkinan dia akan terlempar ke sana.”
“ Bagaimana cara dia kembali?”
“ Setelah ia mengalahkan rasa takutnya, dan berjanji merubah sikap.”
“ Pasti akan lama sekali!” seru Bika.
“ Tidak, satu hari di negeri ini atau negeri lain, sama saja melewatkan satu detik di dunia kita.”
“ Tapi kalau bertahun-tahun?”
“ Hanya beberapa menit sampai jam.”
“ Dan satu pertanyaan lagi, bagaimana cara kita kembali?”
“ Lebih baik, jangan dulu. Aku ingin melihat sekitar, siapa tahu ada orang lain.” Celetuk Bika.
“ Tidak, jangan.” Kata Pak Lexan, “ Kalian kesini bertujuan untuk berunding. Jika ada salah satu diantara kalian melupakan tujuan awal kalian, kita akan terjebak di sini selamanya.”
“ Hei, kami tidak bertujuan begitu.” Ujar Shafa.
“ Memang, tapi itu tujuanku. Jika salah satu diantara kita mempunyai satu tujuan, maka semuanya akan bertujuan sama.”
“ Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“ Pegang tanganku erat-erat,” instruksi Pak Lexan, “ lalu lompat. Satu, dua, tiga!”. Saat mendarat, mereka sudah berada di kamar lagi. Livia masih mencoba membuka pintu. Bika langsung membuka pintu. Livia masuk dengan garang.
“ Lexan! Aku masih menagih hutangmu padaku! Mana cermin ajaib itu?” tanya Livia.
“ Lepaskan cermin itu.” Suruh Pak Lexan. Shafa mengernyit.
“ Dilepas? Memangnya bisa? Cermin itu besar!”
“ Iya, lepas. Cepat lepaskan. Bisa, kok.”. Segera Shafa melepaskan cermin itu. Dengan susah payah, ia berhasil. Cermin yang besar, tetapi ringan.
“ Hei, bisa dilepas!” seru Bika. Shafa segera menyerahkan cermin itu kepada Livia.
“ Hah! Apa ini hanya tipuanmu, agar aku cepat keluar dari rumah ini?” selidik Livia.
“ Percaya padaku. Ini bukan tipuan.”. Livia mengambil cermin itu, menatapnya, lalu ia tersentak, karena bayangan dalam cermin itu hutan, yang ia takuti. Lalu, ia merasa terhisap ke cermin itu, dan sekejap menghilang. Bika segera memungut cermin dan menatapnya. Lalu, ada bayangan Livia sedang terjebak di hutan.
“ Kalian gila! Untuk apa kalian menjebakku di sini?” jerit Livia.
“ Untuk memberimu pelajaran. Apa lagi?” jawab Shafa singkat.
“ Keluarkan aku dari sini!”
“ Kalahin dulu rasa takut, terus ubah sikap. Kalau sudah, lompat, selesai. Gampang, kok. Oh iya, selamat bersenang-senang! Awas! Di belakang ada singa! Hahaha!” Bika tertawa.
“ Aaa! Tidak! Tolong!” tak lama, bayangan Livia hilang. Mereka bertiga menuju ruang tengah, tempat si Bison menunggu. Si Bison langsung berdiri.
“ Nih, bos kamu.” Kata Bika sambil menyerahkan cermin. Si Bison hanya mengernyitkan dahi.
“ Bos kamu, ada di dalem cermin. Udah sana! Bawa pulang! Hus, hus!” usir Shafa. Bison hanya menerima cermin, dan pergi.
“ Kita berhasil!”
Keesokkan harinya.
“ Ya ampun, ini pintunya kenapa? Kok, kayak didobrak?” seru ibu saat sampai rumah.
“ Itu bu, kemarin saat anak-anak main ke peternakan, ada sapi yang lepas, ngejar-ngejar mereka. Mereka takut, langsung ke rumah. Eh, sapinya malah ngedobrak pintu. Kalian, sih, pakai baju merah. Untung saya lagi lewat ke sini, terus ada peternak, kami seret sapinya keluar.” Bual Pak Lexan. Ibu hanya mengangguk-angguk. Pak Lexan mengedipkan mata ke Shafa dan Bika. Mereka hanya senyum-senyum. Sebab, hanya mereka yang tahu kejadiannya.
Alhamdulillah... ( Rizka Rahmania Yusuf Kelas 8 / 2011-2012)
Bandung, 15 Desember 2011
Pukul 23.03 WIB
0 komentar:
Posting Komentar